Selasa, 21 Desember 2010

Kelompok Liberal Memang Suka Putarbalikkan Fakta

Upaya pemutarbalikkan fakta terus dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan Islam yang melakukan amar makruf nahi munkar. Sejumlah LSM liberal di akhir tahun ini terus menerus melansir laporan akhir tahun yang melaporkan sejumlah peristiwa yang dianggap oleh mereka sebagai kekerasan, intoleransi dan berlawanan dengan pluralisme.

Adalah Maarif Institute yang pada 15 Desember 2010 lalu menyatakan bahwa kekerasan yang berlatar belakang agama di Indonesia makin marak terjadi di ruang publik. Persoalan itu, menurut Maarif Instutute, mesti diselesaikan dengan tuntas karena kekerasan yang menodai multikulturalisme tersebut dianggap bakal mengancam demokrasi Indonesia.

Bahkan tokoh liberal pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif mengatakan negara mesti melindungi setiap warga negara, termasuk juga yang atheis asal tidak mengganggu dan patuh pada UUD 1945. "Aparat penegak hukum, terutama polisi harus bertindak tegas. Tapi kita sulit mengharapkan mereka karena untuk menyelesaikan persoalan internal saja tidak mau," ujar Syafii.

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq mengatakan tindakan-tindakan intoleran yang dilakukan kelompok tertentu pada kelompok lain merupakan sebuah anomali dalam proses demokratisasi. "Masa depan demokrasi Indonesia yang masih belia terancam jika aparat negara dan kelompok-kelompok berbasis keagamaan tidak meredam kekerasan yang terjadi," ujar Fajar.

Kesimpulan Fajar itu diambil berdasarkan temuan Aliansi Kebangsaan untuk Kerukunan Beragama (AKUR), yang menyatakan bahwa Jawa Barat menjadi salah satu lumbung terjadinya kekerasan berlatar belakang agama. “Pada tahun lalu hanya 114 kasus, sekarang mencapai 117 kasus, belum termasuk kasus HKBP Ciketing Bekasi dan pembakaran masjid Ahmadiyah di Ciampea”, lanjutnya.

Senada dengan Maarif Institute, kelompok liberal lain, Moderate Muslim Society (MMS) juga melaporkan bahwa Jawa Barat menempati urutan tertinggi sebagai wilayah tertinggi dalam aksi intoleransi.

"Dari 81 kasus intoleransi, lebih dari separuhnya, yakni 49 kasus atau 61 persen, terjadi di wilayah ini," kata Zuhairi Misrawi, Direktur MMS dalam Laporan Toleransi dan Intoleransi tahun 2010 di Aula Paramadina Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (21/12/2010).

Menurut data MMS, aksi intoleransi tahun 2010 meningkat 4 kali lipat dari tahun 2009 yang berjumlah 11 kasus menjadi 49 kasus. Kasus intoleransi yang terjadi di Jawa Barat sebagian besar terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan.

"Di Bekasi, semua korban kasus intoleransi adalah kalangan Kristiani, berupa penghalangan kegiatan ibadah, penyegelan rumah ibadah, dan penyerangan terhadap jemaat HKBP. Sementara di Bogor, dari 10 kasus, 7 kasus juga menimpa kalangan Kristiani terkait masalah gereja. Di Garut dan Kuningan semua korban adalah kelompok Ahmadiyah," kata Zuhairi.

Aksi intoleransi yang meningkat eskalasinya, kata politisi PDIP ini, disebabkan adanya pembiaran dari pemerintah daerah terhadap tindakan intoleransi di Jawa Barat. "Diakui juga bahwa ada peningkatan kelompok yang mengutamakan kekerasan di Jawa Barat. Kelompok ini mesti diajak berdialog untuk memahami kemajemukan," ujarnya.

Selain itu, menurut Zuhairi, masyarakat di Jawa Barat dinilai memiliki kesadaran bernegara yang rendah. Ia mengatakan, kunci dari masalah ini adalah pemerintah harus berlaku tegas terhadap para pelaku kekerasan.

"Ketika ketidaktegasan pemerintah terus berjalan, akan ada kecurigaan di tengah masyarakat bahwa kelompok ekstrem ini sengaja dipelihara oleh pemerintah," ujarnya.

Jangan Putarbalikkan Fakta

Menanggapi berbagai laporan LSM liberal tersebut, Direktur An Nashr Institute Munarman mengatakan bahwa kelompok-kelompok liberal itu memang suka memutarbalikkan fakta. Keberadaan sejumlah LSM liberal juga dinilainya sebagai antek (komprador) asing untuk mendiskreditkan umat Islam. “Biasa itu memang pekerjaan mereka untuk cari uang”, ujarnya.

Padahal inti persoalan dari sejumlah kejadian di Jawa Barat adalah karena kelompok-kelompok yang disebut kalangan liberal sebagai korban, yakni Nasrani dan Ahmadiyah, adalah melanggar hukum. Pendirian gereja HKBP di Bekasi adalah ilegal karena tidak memenuhi syarat pendirian rumah ibadah, sementara kasus Ahmadiyah karena mereka melanggar SKB 3 Menteri.

“Kelompok liberal itu jahat, sekaligus tidak paham persoalan. Mereka melihatnya hanya sudut pandang minoritas. Mereka tidak melihat bahwa mayoritas umat Islam lah yang justru menjadi korban penistaan agama oleh Ahmadiyah di Jawa Barat dan korban aksi provokatif jemaat HKBP di Bekasi”, ungkap Pengurus FUI Bekasi Bernard Abdul Jabbar.

Selain itu, mantan misionaris itu juga mengungkapkan bahwa dengan merekomendasikan agar pemerintah berlaku tegas terhadap pelaku kekerasan, LSM liberal dinilainya telah melakukan provokasi terhadap pemerintah agar berhadapan dengan umat Islam. “Saya menghimbau agar pemerintah tidak terprovokasi seruan kelompok liberal ini”, pintanya.

Sementara Ketua Umum DPP Gerakan Reformis Islam (GARIS) Chep Hernawan meluruskan bahwa sebenarnya sekarang ini sudah tidak ada lagi orang Islam yang melakukan kekerasan fisik terhadap Ahmadiyah. Karena itu ia menghimbau agar Ahmadiyah tidak lagi memutarbalikkan fakta.

“Yang kita lakukan adalah tindakan yang sesuai dengan hukum. Seperti pada Jum’at (10/12) lalu kita menyaksikan aparat mengeksekusi tempat ibadah Ahmadiyah di Sukabumi. Masjidnya tidak di buldoser, tetapi bagi siapa saja yang membutuhkan bahan meterialnya, silahkan dibongkar sendiri. Keputusan eksekusinya sendiri telah dibacakan oleh pihak Pengadilan Negeri Sukabumi”, jelasnya.

Ahmadiyah memang dinilainya bandel dan terus melanggar SKB. Terakhir mereka melakukan Mukernas di Hotel Setia Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. “Karena melanggar SKB, kami membubarkan secara paksa kegiatan Ahmadiyah tersebut”, kata pengusaha sukses itu.

Chep juga mengaku dalam melakukan amar makrif nahi munkar itu pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian. “Aksi kami legal, bukan ilegal”, akunya. Sebaliknya, justru pihak Ahmadiyah lah yang sering melakukan kegiatan tanpa pemberitahuan kepada kepolisian. (kcm/shodiq ramadhan)
Facebook Stumble It! Google Yahoo MyWeb Reddit Del.icio.us; Digg This!

Sikap terhadap kaum Nasrani

Kaum muslimin rahimakumullah,

Dalam suasana Natal dan tahun Baru di Indonesia mendadak negeri muslim terbesar di dunia ini berubah seolah negeri Kristen. Hal itu terlihat benar di mall-mall di mana di samping adanya hiasan pohon natal dan lampu-lampu serta musik-musik gereja, para pramuniaga pun, tentu mayoritas mereka adalah muslim, mengenakan pakaian sinterklas. Perayaan-perayaan natal pun digelar dimana-mana. Dan ucapan natal pun disampaikan oleh para pejabat dan tokoh. Apakah hal demikian bisa dibenarkan dalam rangka menjaga toleransi beragama?

Kaum muslimin rahimakumullah,

Menghormati keyakinan orang adalah bagian dari ajaran agama Islam. Islam tidak memaksakan agar semua anak manusia masuk ke dalam Islam (QS. Al Baqarah 256). Namun umat Islam wajib mendakwahkan Islam kepada semua umat manusia dengan cara yang rasional dan baik (QS. An Nahl 125). Sebab Rasulullah saw. di utus untuk seluruh umat manusia (QS. Saba 28).

Oleh karena itu, sebagai negeri Islam, mestinya Indonesia tetap dijaga syiar-syiar Islamnya sekalipun ada hari-hari raya kaum minoritas. Sehingga janganlah hari raya mereka mengubah keadaan seolah-olah negeri ini bukan negeri Islam.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Dalam mensikapi keberadaan kaum Nashrani, Islam memberikan petunjuk dan rambu-rambu kepada kita dalam melakukan hubungan dengan mereka. Pada dasarnya Islam tidak memandang kaum Nashrani sebagai pihak yang memusuhi kaum muslimin. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. (QS. Al Maidah 82).

Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang Nashrani itu paling dekat persahabatannya dengan kaum muslimin karena di kalangan Nashrani terdapat para ulama (qississiin) dan para ahli ibadah (ruhban) yang tidak menyombongkan diri seperti kaum Yahudi dan kaum Musyrik Mekkah. Dalam tafsir Jalalain diterangkan bahwa ayat di atas turun tentang delegasi Najasyi yang menghadap Rasulullah saw. Lalu beliau saw. membacakan kepada mereka Surat Yasin. Lalu mereka menangis dan masuk Islam. Mereka mengatakan: “Alangkah miripnya ini dengan yang turun kepada Isa”.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Kaum Nashara sebagai ahli Kitab seperti Yahudi, harus diajak kepada kalimat tauhid. Allah SWT berfirman:

Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali Imran 64).

Ibnu Abbas dalam tafsirnya menerangkan bahwa kalimat yang sama (kalimataun sawa’) antara kaum muslimin dengan ahlu Kitab adalah kalimat Lailahaillallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Janganlah kita menyembah kecuali Allah maknanya janganlah kita mentauhidkan kecuali mentauhidkan Allah. Dan janganlah kita menserikatkan Allah dengan sesuatu makhluk pun. Dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah, yakni janganlah salah seorang dari kita mentaati salah seorang pemimpin dalam maksiat kepada Allah.

Rasulullah saw. pernah mengirim surat dakwah kepada kaisar Rumawi Heraclius yang beragama Nashrani, sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahiim. Dari Muhammad hamba Allah dan rasul-Nya kepada Heraclius pembesar Rumawi. Semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajak anda kepada ajakan Islam. Masuk Islamlah, niscaya engkau selamat. Niscaya Allah akan memberikan kepada anda pahala dua kali. Kalau anda menolak maka anda menanggung dosa kaum Arisiyyin. Dan: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

Kaum muslimin rahimakumullah,

Kaum Nashrani harus diingatkan bahwa mereka adalah bagian dari kaum yang mendapatkan kitabullah, yakni Ahli Kitab, sebagaikmana kaum muslimin dan kaum Yahudi dan bukan bagian dari orang-orang Barat atau kaum lain yang tidak mendapatkan kitabullah. Juga harus dikoreksi segala sikap dan pemahaman mereka yang keliru dengan Al Quran. Allah SWT berfirman:

Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari Ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara. (QS. An Nisa 171).

Kaum muslimin rahimakumullah,

Bilamana terjadi diskusi dan perdebatan dengan orang-orang Nasrani, maka bantahlah mereka dengan bantahan yang baik, sebagaimana firman-Nya:

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al Ankabut 46).

Salah satu bantahan yang baik kepada kaum Nashrani yang dicontohkan Al Quran adalah bantahan terhadap penciptaan Isa yang mereka imani sebagai tuhan. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia. (QS. Ali Imran 59).

Artinya, keanehan kejadian Isa a.s. tanpa bapak, tidak perlu menimbulkan persangkaan bahwa dia adalah anak Allah. Sebab, keanehan itu sama atau bahkan tidak lebih aneh daripada kejadian Adam a.s. yang tanpa bapak dan tanpa ibu, tapi langsung diciptakan dari tanah dan air yang mati.

Mudah-mudahan dengan mendakwahkan Islam kepada kaum Nashrani dan berdiskusi dengan mereka, mereka mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

Baarakallahu lii walakum

Sholat subuh tidak tepat waktu

Shalat yang merupakan ibadah pertama yang diwajibkan Allah swt adalah ibadah yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Ia adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya berarti orang itu telah menegakkan agama dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti orang itu telah menghancurkan agamanya.

Shalat adalah yang pertama kali dihisab (dihitung) Allah swt pada hari perhitungan amal-amal manusia, sebagaimana diriwayatkan at Tirmidzi dari Abu Hurairah berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika shalatnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu."

Diantara dalil yang menerangkan kewajiban seorang muslim untuk melakukan shalat lima waktu pada waktu-waktu yang telah ditentukan Allah swt adalah :

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا ﴿١٠٣﴾

Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa : 103)

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Qatadah bin Rib'iy mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: " 'Sesungguhnya Aku mewajibkan umatmu shalat lima waktu, dan Aku berjanji bahwa barangsiapa yang menjaga waktu-waktunya pasti Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak mendapatkan apa yang aku janjikan".

Dan tentang permasalahan anda yang sesekali melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau habis waktunya maka apabila yang menyebabkan anda bangun kesiangan adalah aktivitas-aktivitas yang mengandung maslahat syar’i; seperti : menuntut ilmu atau berbincang-bincang tentang ilmu, kemaslahatan kaum muslimin, berbincang-bincang dengan tamu yang anda perlukan atau hal-hal lain yang mengandung kemaslahatan maka anda tidaklah berdosa dan shalat yang anda lakukan tetap sah meskipun dianggap qadha. Kemudian berusahalah anda melaksanakan shalat-shalat shubuh berikutnya pada waktunya dan janganlah anda menjadi permainan setan yang menyebabkan anda kesiangan bangun.

Sedangkan jika yang menyebabkan anda kesiangan shalat shubuh adalah aktivitas-aktivitas yang tidak mengandung manfaat (maslahat) bagi anda maupun kaum muslimin atau perbuatan sia-sia maka anda termasuk orang yang menyia-nyiakan atau melalaikan shalat dan mendapatkan dosa meskipun shalat itu tetap harus dilakukan dan dianggap qadha. Kemudian diwajibkan bagi anda untuk bertaubat taubat nashuha dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾

Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Demikian pula terhadap shalat-shalat lainnya yang dilakukan diluar waktu-waktunya.
Wallahu A’lam

الجواب :
الحمد لله
1-إذا كنت استيقظت وقت صلاة الفجر ثم غلبتك نفسك فنمت وفي نيتك وعزمك أنك ستستيقظ بعد قليل _ قبل خروج الوقت _ ولكنك لم تستيقظ إلا بعد خروج الوقت ، فقم بأداء الصلاة مباشرة ، وكن حازما في المرّات القادمة ، فلا تجعل الشيطان يتلاعب بك ، ونسأaل الله لك المغفرة .
2-أما إذا كنت عازما على أن لا تؤدي الصلاة إلا بعد خروج وقتها _ أو كنت مترددا في ذلك _ فهذا الفعل هو الذي يكفر به صاحبه عند بعض أهل العلم .
فإذا كان صدر منك مثل هذا الفعل فتُب إلى الله من الآن ، واعقد العزم على أن لا تعود ، وصلّ الصلوات التي فاتتك إن كنت تعرف عددها ، والله يتوب على من تاب ، وهذه كفارة ذلك . والكلام عن صلاة العصر كالكلام عن صلاة الصبح تماما .

الشيخ سعد الحميد
http://www.islam-qa.com/ar/cat/2024

يعود إلى النوم إذا استيقظ دون أن يصلي
السؤال : حدث في مرات قليلة أن استيقظت من نومي وقت صلاة الفجر تماما أو قبل ذلك بقليل وعدت إلى النوم مرة أخرى . وكنت في مرتين أعي أنني استيقظت وقت صلاة الفجر إلا أني عدت ونمت. ثم سمعت بأن الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله قال بأن من يفعل ذلك الفعل يكون كافرا (مرتدا)، فهل هذا صحيح؟ وما هو الرأي الصحيح في هذه المسألة وفقا لأهل السنة والجماعة؟ (وإذا كان ذلك صحيح [الكفر أو الارتداد]، فماذا أفعل؟
سؤال آخر: إذا فاتتني صلاة العصر (خرج وقتها ولم أصليها)، فهل أكفر بذلك (مع أني ما أزال أصلي الصلوات الخمس المفروضة يوميا)؟ أنا أعلم أني أفقد جميع أعمالي الصالحة في اليوم وفقا لرواية في صحيح البخاري، لكني أطرح سؤالي أعلاه عليك، وأنا أظنك على الحق وعلى طريقة الرسول صلى الله عليه وسلم. وجزاك الله خيرا

Jadi apa yang anda lakukan dengan seringnya melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau setelah berlalu waktu shalat shubuh tanpa ada
Jadi apa yang anda lakukan dengan seringnya melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau setelah berlalu waktu shalat shubuh tanpa adanya alasan-alasan yang dibenarkan syariat maka hal itu diharamkan dan termasuk didalam menyia-nyiakan atau melalaikan shalat karena itu diwajibkan bagi anda untuk bertaubat kepada Allah dan bertekad untuk tidak mengulanginya serta melaksanakan shalat-shalat fardhu diwaktu-waktunya.

Islam mengancam keras orang yang meninggalkan shalat lima waktu karena mengingkarinya maka orang itu adalah kafir dan keluar dari agama Islam, berdasarkan ijma para ulama.
Sementara para ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat dikarenakan malas atau meremehkannya ;

1. Para ulama Hanafi berpendapat bahwa orang itu adalah fasiq dan harus dipenjara serta dipukul dengan satu pukulan hingga mengalirkan darah sampai orang itu mau melaksanakan shalat dan bertaubat atau meninggal di penjara, begitu juga terhadap orang yang meninggalkan puasa ramadhan.
2. Para ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meniggalkan shalat tanpa suatu uzur walaupun dia hanya meninggalkan satu kali shalat maka orang itu diminta untuk bertaubat selama tiga hari seperti seorang yang murtad dan jika tidak mau bertaubat maka dibunuh.
3. Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh disebabkan pengingkarannya. Maka barangsiapa meninggalkan shalat dan tidak ada persyaratan untuk membebaskannya maka yang ada hanyalah dibolehkannya dibunuh, untuk itu tidak ada pembebasan bagi orang yang tidak menegakkan shalat.

Sementara DR Wahbah lebih cenderung kepada pendapat yang pertama yaitu bahwa orang seperti itu tidaklah dihukum dengan kafir, berdasarkan dalil-dalil qoth’i yang banyak dan juga orang itu tidaklah kekal di neraka setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah maka terpelihara harta dan darahnya dan perhitungannya ada pada Allah swt.” (HR. Muslim) juga sabda Rasulullah saw,”Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengatakan Laa Ilaha Illallah yang dihatinya masih ada kebaikan sebesar gandum. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengatakan Laa Ilaha Illallah yang dihatinya masih ada kebaikan seberat atom.” (HR. Bukhori)

Islam juga melarang setiap muslim yang melaksanakan shalat-shalatnya namun ia melalaikan waktu-waktunya, sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Menyentuh Istri Dalam Keadaan Berwudhu

Jika seorang suami menyentuh istrinya secara langsung (tanpa penghalang) maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu, apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak. Yang paling tepat adalah bahwa ia tidaklah membatalkan wudhu baik menyentuhnya dengan disertai syahwat atau tidak. Karena Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pernah mencium beberapa istrinya dan beliau shallallahu'alaihi wasallam tidak berwudhu lagi dan seandainya hal itu membatalkan wudhu pastilah Nabi shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskannya.

Adapun firman Allah swt :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

Artinya : “Atau menyentuh perempuan.” (QS. Al Maidah [5] : 6)

Maksudnya adalah jima’ (bersetubuh) menurut pendapat para ulama yang paling benar. (al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al Ilmiah wa al Ifta No. 1405)

Hukum Shalat Sambil Menggendong Anak Yang Kencing

Dibolehkan bagi seorang yang melaksanakan shalat sambil menggendong anak kecil jika memang hal itu diperlukan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Qatadah berkata; Aku melihat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam shalat dengan menggendong Umamah atau Umaimah binti Abi Al 'Ash, ia adalah putri Zainab. Beliau menggendongnya bila berdiri dan meletakkannya bila ruku' hingga usai shalat.

Namun hendaklah dirinya memastikan bahwa anak kecil yang digendong itu dalam keadaan suci. Karena diantara syarat sahnya shalat adalah tidak terdapat najis baik di badan, pakaian atau tempat. Maka barangsiapa yang melaksanakan shalat sedangkan di pakaiannya atau badannya terdapat najis atau dirinya menggendong anak kecil yang terkena najis atau membawa botol yang didalamnya terdapat najis maka batal shalatnya, demikian menurut jumhur ulama namun tidak membatalkan wudhunya.

Ibnu Qudamah didalam kitabnya “al Mughni” mengatakan,”Seandainya seorang melaksanakan shalat sambil membawa botol tertutup yang berisi najis maka tidak sah shalatnya.”

Shalatnya batal jika dirinya mengetahui bahwa anak kecil yang digendongnya itu terkena najis akan tetapi jika dirinya tidak mengetahui bahwa anak kecil itu terkena najis atau lupa bahwa anak itu terkena najis maka shalatnya sah dan tidak perlu baginya untuk mengulang shalatnya.

Syeikh Ibnu Utsaimin —semoga Allah merahmatinya— mengatakan, ”Apabila seorang yang shalat sementara badannya terkena najis atau terkena najis yang tidak dicuci atau pakaiannya najis atau tempatnya najis maka shalatnya tidaklah sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi seandainya dirinya tidak mengetahui najis tersebut atau mengetahuinya kemudian lupa untuk mencucinya hingga selesai shalatnya maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulang. Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku.” Seandainya shalat batal karena disertai najis yang tidak diketahuinya pastilah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan lagi shalatnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin juz XII hal 381)

Dengan demikian jika anda melaksanakan shalat sambil menggendong anak anda sementara anda mengetahui bahwa anak anda terkena najis air kencingnya sendiri meskipun dia menggunakan diapers maka shalat anda batal namun tidak membatalkan wudhu sehingga diharuskan bagi anda untuk mengulang shalat. Sedangkan jika anda meyakini bahwa diapers yang dikenakan anak anda yang digendong itu suci atau tidak terkena najis air kencingnya atau terkena najis air kencingnya ketika anda shalat sementara anda tidak mengetahuinya hingga anda selesai melaksanakan shalat maka shalat anda sah dan tidak perlu mengulanginya.

Wallahu A’lam.

Waktu shalat isya

Waktu shalat isya bermula dari dari lenyapnya syafaq (mega merah) dan berlangsung hingga seperdua malam, berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Bukhori dari 'Aisyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengakhirkan shalat 'Isya hingga sepertiga malam yang akhir.”

Juga apa yang diriwayatkan at Tirmidzi dari Abu Hurairah ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau pertengahan malam." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Jabir bin Samrah, Jabir bin Abdullah, Abu Barzah, Ibnu Abbas, Abu Sa'id Al Khudri, Zaid bin Khalid dan Ibnu Umar." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Hurairah ini derajatnya hasan shahih. Pendapat inilah yang dipilih oleh kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tabi'in dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa mengakhirkan shalat isya akhir (diperintahkan). Pendapat ini juga diambil oleh Ahmad dan Ishaq."

Waktu tersebut adalah waktu ikhtiyari artinya dibolehkan bagi seorang muslim mengakhirkan shalat isya hingga tengah malam tanpa ada kemakruhan didalamnya. Sedangkan waktu setelah tengah malam hingga terbit fajar adalah waktu darurat, artinya dibolehkan bagi seseorang melaksanakan shalat isya selepas tengah malam hingga terbit fajar jika dirinya termasuk orang-orang yang memiliki uzur, seperti : orang yang ketiduran, tidak sadarkan diri, haidh, nifas, gila dan lainnya, namun makruh bagi mereka yang tidak memiliki halangan.

Adapun waktu tengah malam adalah waktu seperdua dari awal hingga akhir malam. Awal malam ditandai dengan masuknya waktu maghrib (tenggelamnya matahari) sedangkan akhir malam ditandai dengan terbitnya fajar. Jika matahari tenggelam pada pukul 18.00 WIB sedangkan fajar terbit pada pukul 04.00 maka rentang waktu malam itu adalah 10 jam. Dengan demikian seperdua malamnya adalah pukul 23.00 WIB.

Wallahu A’lam.

Senin, 20 Desember 2010

Dai tukang dongeng

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, kepada para keluarga dan sahabat beliau.

Sidang pembaca yang dimuliakan Allah ta’ala, sungguh fenomena yang teramat menyedihkan tatkala kita melihat berbagai media cetak lebih mengedepankan kisah-kisah, hikayat-hikayat yang validitasnya patut dipertanyakan sebagai bahan dakwah ke masyarakat. Tidak hanya di media massa, di lapangan dakwah pun, ceramah para da’i sering kita temui lebih sering dipenuhi kisah-kisah dongeng dan digunakan sebagai dalil, bahkan di satu kesempatan seorang ustadz penceramah selama satu jam lebih berceramah dengan berdalilkan kisah tanpa sedikitpun menyebut ayat Al Quran dan hadits nabi!

Sidang pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, meski tujuan mereka baik, tapi ekses dari penyampaian kisah-kisah tersebut sebenarnya adalah memalingkan manusia dari Al Quran dan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita tidak tahu bahwa Allah ta’ala mengingatkan kita untuk mempergunakan Al Quran ketika mendakwahi?!

Banyak ayat-ayat Allah yang mensiyalir akan hal itu. Allah ta’ala berfirman,

فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخَافُ وَعِيدِ (٤٥)

Maka beri peringatanlah dengan Al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku. (Qaaf: 45).

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (٥٢)

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar. (Al Furqan: 52).

إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٩١)وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ (٩٢)

Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang beragama Islam. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan. (An Naml: 91-92).

Saudaraku, sidang pembaca yang dirahmati Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak menyampaikan kisah-kisah ketika berdakwah merupakan perkara baru yang tidak berdalil!! Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya beliau mengatakan,

لم يُقَص – بضم الياء وفتح القاف – على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا عهد أبي بكر ولا عهد عمر ولا عهد عثمان إنما كان القصص حيث كانت الفتنة

“Kisah tidak pernah disampaikan di zaman Abu Bakr, tidakpula di zaman ‘Umar dan ‘Utsman. Kisah hanya disampaikan ketika fitnah tersulut.”[1]

Mengapa Berdakwah dengan Dongeng?

Saudaraku tercinta, sidang pembaca yang dimuliakan Allah. Pertanyaannya, apakah motif yang mendorong para da’i mengganti ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi dengan membawakan kisah-kisah ketika berdakwah? Berikut beberapa motif yang mengakibatkan hal tersebut.

* Minimnya kemampuan para da’i dalam berdalil dengan ayat Al Quran dan hadits nabi yang shahih.

Anda dapat melihat para da’i tersebut, imma mereka tidak mampu menghafalnya atau tidak mampu bagaimana berdalil dengannya (beristidlal)! ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah membicarakan perihal mereka,

«أعيتهم الاحاديث أن يحفظوها….»

Hadits-hadits melemahkan mereka sehingga mereka tidak mampu menghafalnya.[2]

Ketahuilah mereka tidak mampu menghafalnya karena Al Quran sangat berat dan agung sebagaimana firman-Nya,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا (٥)

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al Muzammil: 5).

Demikianlah para da’i tukang dongeng, mereka tidak mampu memikulnya, karena harus dihafal dan ditilawahi dengan benar, tidak hanya itu, juga harus digunakan sebagai dalil dengan metode yang tepat. Berbeda dengan kisah yang sering mereka bawakan, jika kisah-kisah tersebut direkayasa sedemikian rupa, mereka berpikir siapa kiranya yang akan mengoreksi mereka ?

* Ingin tenar dan menarik perhatian manusia.

Sahabat Tamim ad Daari pernah berkata kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma,

دعنى ادع الله وأقص واذكَّر الناس

Biarkan saya, saya berdo’a kepada Allah, membawakan kisah dan mengingatkan manusia.

‘Umar menolak dan tatkala Tamim ad Daari mengulangi permintaannya, ‘Umar menjawab,

أنت تريد أن تقول انا تميم الداري فاعرفوني!!

Saya tidak akan mengijinkanmu, karena engkau ingin mengatakan kepada manusia, Wahai manusia, saya Tamim ad Daari, kenalilah diriku!![3]

Abul Fadhl Al ‘Iraqi rahimahullah mengatakan,

فانظر توقف عمر في اذنه في حق رجل من الصحابة يعني تميماً الداري الذين كل واحد منهم عدل مؤتمن واين مثل تميم في التابعين ومن بعدهم؟

Lihatlah bagaimana ‘Umar tidak mengijinkan seorang sahabat, Tamim ad Daari, padahal status setiap sahabat adalah adil dan tepercaya. Bagaimana kiranya dengan tabi’in dan generasi setelahnya?![4]

* Memenuhi pesan sponsor dan keinginan mayoritas orang awam

Jiwa yang lemah gemar akan kisah dan hikayat karena kelemahannya untuk menerima nasehat, peringatan, perintah dan larangan yang berlandaskan dalil, apatah lagi diharapkan untuk mengenal halal dan haram. Tatkala para da’i pendongeng takjub akan kuantitas khalayak yang memperhatikan, maka mereka pun beranggapan alangkah baiknya pada momen tersebut menambah kisah-kisah aneh yang lain!!

Tatkala disebutkan perihal Maimun, seorang pendongeng, Abul Malih rahimahullah mengatakan,

لا يخطئ القاص ثلاثاً: إما ان يُسَمِّنَ قوله بما يَهْزُل دينه واما ان يعجب بنفسه واما ان يأمر بما لا يفعل

Tiga hal yang benar terdapat dalam diri seorang pendongeng, yaitu dia memperbanyak perkataannya dengan sesuatu yang mengerdilkan agamanya; takjub akan diri sendiri; dan memerintah manusia untuk mengerjakan sesuatu yang justru tidak dilakukannya.[5]

* Tipudaya setan

Benar, setan telah menghias-hiasi metode ini sehingga para da’i tertarik. Anda dapat menjumpai para da’i yang menggunakan metode ini menyebarluaskan semua kisah aneh yang dipenuhi kebatilan karena terkesan akan kisah tersebut. Akhirnya mereka dengan mudah berdusta, bahkan dengan tindakan tersebut mereka dapat digolongkan sebagai manusia yang paling pendusta! As Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Tahdzirul Khawwash, telah menyebutkan beberapa golongan pendusta tersebut. Beliau mengatakan,

قال الامام احمد بن حنبل رحمه الله تعالى: «اكذب الناس القصاص والسُّؤَال» – بضم السين وفتح الهمزة مشددة – أي الذين يسألون الناس اموالهم فيخترعون القصص ليتصدقوا عليهم

Imam Ahmad in Hambal rahimahullah mengatakan, “Manusia pendusta yang paling parah adalah tukang dongeng dan pengemis. Mereka itulah golongan yang meminta-minta harta manusia dengan merekayasa berbagai kisah agar diberi sedekah[6].”[7]

Kerusakan yang Ditimbulkan

Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari perbuatan da’i-da’i yang menjadikan hikayat sebagai bahan dakwahnya. Diantaranya adalah:

* Dengan berbagai kisah dan hikayah tersebut, para da’i tukang dongeng justru memalingkan kaum muslimin untuk membaca, mentadabburi, memetik ilmu, nasihat, dan petunjuk dari Al Quran dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
* Membiasakan orang awam dengan perbuatan rekayasa, kedustaan, tidak bersikap tatsabbut (cek dan ricek), kisah yang berlebih-lebihan dan penuh khayalan yang menjerumuskan.
* Memalingkan perhatian manusia kepada para da’i tukang dongeng dan justru lari dari para ulama dan da’i yang kredibel dan kapabel. Anda dapat melihat bahwa saat ini masyarakat awam lebih senang duduk di majelis da’i-da’i tukang dongeng daripada duduk di majelis ilmu ilmiah yang dibawakan para ulama.
* Menipu mayoritas manusia karena mengira da’i tukang dongeng tersebut memiliki ilmu dan layak diminta fatwanya. Akhirnya mereka pun bertanya mengenai problematika kehidupan dan meminta fatwa kepada mereka, dan seringkali para da’i tersebut berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka pun sesat lagi menyesatkan.
* Seringkali para da’i tukang dongeng menyampaikan berbagai kisah dan dongeng dengan berpegang pada hadits-hadits palsu dan lemah. Padahal, perbuatan ini merupakan dosa besar.
* Memalingkan manusia dari kisah-kisah yang tertera dalam Al Quran, yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai kisah terbaik. Allah ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (٣)

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Yusuf: 3).

* Kerusakan terbesar yang diperbuat oleh para da’i tersebut adalah sikap mereka terhadap kisah para nabi. Dengan gampangnya mereka memberi tambahan cerita sehingga menyifati para nabi dengan berbagai sifat yang tidak pantas.
* Terkadang para da’i tersebut menyampaikan berbagai kejadian fitnah yang terjadi di antara para sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Tidak sedikit mereka mencaci dan melanggar kehormatan para sahabat, padahal kewajiban kita kaum muslimin untuk menahan diri, tidak berkomentar negatif mengenai segala fitnah yang terjadi di antara para sahabat.

Akhir kata

Saudaraku, anda telah mengetahui bahwa sebenarnya para da’i pendongeng tersebut justru berbuat buruk terhadap Islam. Bahaya yang ditimbulkan teramat besar bagi kaum muslimin. Maka kita berkewajiban memegang teguh Al Quran dan hadits, memotivasi kaum muslimin yang lain untuk memperhatikan para ulama rabbani, mendorng mereka untuk menuntut ilmi, dan bukan memalingkan pandangan kepada para da’i pendongeng tersebut. Kita wajib waspada terhadap da’i-da’i pendongeng dan memperingatkan umat akan dampak yang ditimbulkan oleh mereka.

Hanya kepada Allah semata kami memohon untuk memberikan taufik-Nya agar kaum muslimin mampu melaksanakan segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi diri mereka. Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Diterjemahkan dari artikel Dr. Salim ath Thawil, “Dzammul Qashshashin” dengan beberapa penyesuaian.

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Tafsir Surat Al'Ashr

Allah ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Iman yang Dilandasi dengan Ilmu

Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu

Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا

”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).

Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah

Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].

Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)

”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).

Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]

”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Wahai para juru Dakwah bersatulah

ada suatu kesempatan, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah[1] ditanya,

“Di tengah kaum muslimin saat ini banyak terdapat jama’ah yang masing-masing berdakwah kepada manusia dengan caranya masing-masing. Dengan adanya banyak jama’ah tersebut mereka membuka pintu perselisihan yang lebar. Bagaimana menurut Anda?”

Beliau hafizhohullah menjawab:

Ya benar, apa yang Anda katakan sangat disesalkan benar adanya. Juru dakwah di masa ini terkotak-kotak menjadi beberapa jama’ah dan beberapa kelompok. Setiap jama’ah memiliki nama khusus dan metode khusus. Mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat membahayakan kaum muslimin dan membuat musuh Islam bergembira.

Bahkan semestinya pada da’i bermusyawarah dan menyatukan visi dan misi mereka, meskipun mereka berada di negeri-negeri yang saling berjauhan, kemudian saling ruju’ satu dengan yang lain. Dan sebaiknya mereka mengadakan pertemuan minimal setahun sekali untuk mengkaji masalah ini, yaitu mengenai seluk-beluk dunia dakwah yang mereka jalani. Dengan demikian mereka akan bersatu menjadi sebuah jama’ah saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)

Adanya firqah (kekelompokan) hanya akan menimbulkan keburukan. Berpecahnya para da’i menjadi beberapa jama’ah tidak akan membawa kebaikan bahkan hanya akan membukan pintu keburukan.

Setiap jama’ah menyalahkan jama’ah yang lain dan mencari-cari kesalahan jama’ah yang lain, sampai-sampai dakwah Islam terabaikan. Dan ini merupakan salah satu sumber kelemahan. Semestinya para da’i itu bersatu dan saling belajar dari yang lain. Seseorang tidak boleh fanatik sehingga bersikeras dalam terus berada dalam kesalahan. Wajib bagi siapa pun untuk ruju’ kepada kebenaran jika telah dijelaskan kepadanya.

Adapun perkataan semacam, “Aku berlepas diri dari jama’ah itu karena mereka berpemahaman A sedangkan aku berpemahaman B”, ini adalah sebuah kesalahan! Allah Ta’ala berfirman,
أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya, serta kepada ulil amri kalian. Jika kalian berselisih, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Kembali kepada Allah adalah mengembalikan perselisihan kepada Al Qur’an. Kembali kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan perselisihan kepada keputusan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup, atau kepada hadits-haditsnya setelah beliau wafat.

Sikap demikian akan memangkas persengketaan dan akan sejalanlah visi dan misi para da’i. Sehingga bersatulah mereka di atas kebaikan.

Keutamaan Dakwah

Keutamaan Dakwah

Akhil karim, sesungguhnya Allah ta’ala telah memerintahkan untuk berdakwah kepada manusia menuju jalan-Nya. Allah banyak berfirman mengenai hal ini, diantaranya adalah firman-firman-Nya berikut ini,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ (١٢٥)

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah. (An Nahl: 125).

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Islam? (Fushshilat: 33).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

بلغوا عني ولو آية

Sampaikanlah dariku walau satu ayat (HR. Bukhari: 3461).

لأن يهدي الله بك رجلا واحد خير لك من حمر النعم

Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui perantaraanmu (yaitu dengan dakwah), itu lebih baik daripada seekor unta merah (HR. Bukhari: 3701).

Faedah

Terdapat faedah yang dapat dipetik dari uraian di atas, yaitu:

* Berdakwah wajib dilakukan karena Allah dan bertujuan agar manusia menempuh jalan-Nya. Dengan demikian, seorang da’i berdakwah karena mengharap Wajah-Nya, bukan menyeru manusia kepada dirinya, atau untuk mendukung suatu kelompok dan perhimpunan, tidakpula berdakwah karena ingin meraih kepemimpinan, jabatan, harta, popularitas, atau berbagai tujuan lain yang rendah dan fana.
* Dakwah yang dilakukan adalah dakwah menuju jalan-Nya, yaitu shirathal mustaqim, jalan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
* Dakwah dilandasi hikmah dan nasihat yang baik, dengan kriteria dakwah yang berlandaskan ilmu, kelembutan, dan kesabaran

sehingga,

Berilmu sebelum memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran

Berlaku lemah lembut selama memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, dan

Bersabar ketika dan sesudah memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran

* Dakwah memiliki keutamaan yang besar karena tidak seorang pun yang memiliki perkataan, kondisi, dan kesudahan yang terbaik, selain orang yang berdakwah kepada Allah ta’ala.
* Dakwah dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan, meski hanya menyampaikan sebuah ayat Al Qur-an, atau menjelaskan sebuah hukum dari suatu permasalahan, atau menyampaikan sebuah sunnah dari berbagai sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhil karim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan dirimu untuk menunaikan kebajikan, apabila anda menginginkan amalan dengan pahala dan ganjaran yang tidak kunjung habis, maka anda harus berdakwah kepada Allah ta’ala, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

إن الدال على الخير كفاعله

Sesungguhnya seorang yang menunjukkan kebaikan seperti orang yang melakukannya (dalam hal pahala) [Shahihul Jami': 1605] .

Menjaga Modal

Akhil karim, semoga Allah merahmatiku dan dirimu, salah satu sikap hikmah dalam berdakwah kepada Allah adalah lebih memfokuskan perhatian untuk mendakwahi saudara kita, sesama muslim selain berdakwah kepada orang-orang kafir. Karena mendakwahi orang kafir merupakan laba/untung dan merupakan upaya untuk menambah kuantitas kaum muslimin, sedangkan mendakwahi saudarai kita sesama muslim merupakan upaya untuk menjaga modal. Tentu, seorang pedagang yang sukses akan lebih perhatian untuk menjaga modal baru kemudian berusaha mencari untung.

Jika anda telah memahami hal ini, maka anda dapat mengetahui bahwa yang menjadi kewajiban adalah mengerahkan usaha dalam berdakwah sembari memfokuskan perhatian dalam mendakwahi kaum muslimin, memperbaiki akidah, ibadah, dan akhlak mereka, terlebih di saat ini berbagai penyimpangan dan kesesatan dari segi akidah; bid’ah dalam peribadatan telah masuk ke dalam barisan kaum muslimin. Tidak hanya itu, banyak diantara kaum muslimin memiliki penyimpangan akhlak sehingga terjerumus ke dalam berbagai perbuatan keji dan mungkar seperti terjerumus ke dalam penggunaan narkoba, minuman yang memabukkan, zina, perbuatan durhaka, pemboikotan terhadap sanak keluarga, dan yang selainnya.

Apa yang dipaparkan di atas tidak berarti kita mengenyampingkan dakwah kepada orang-orang kafir, memotivasi mereka untuk masuk Islam dan menjelaskan berbagai keindahan Islam kepada mereka. Bukan demikian, karena mendakwahi orang kafir juga merupakan hal yang urgen. Akan tetapi, yang dimaksud adalah mendakwahi kaum muslimin lebih diprioritaskan, yaitu dengan mengerahkan usaha yang lebih untuk mendakwahi mereka ketimbang usaha untuk mendakwahi orang-orang kafir.

Kemudian, akhil karim, semoga Allah memberkatimu, ketahuilah bahwa sesungguhnya keistiqamahan (konsistensi) kaum muslimin dengan kembali menerapkan ajaran Islam yang shahih dan murni, pada hakekatnya merupakan upaya dakwah kepada orang-orang kafir. Dan sebaliknya, penyimpangan yang dilakukan kaum muslimin, pada hakekatnya merupakan penghalang bagi orang lain untuk berjalan di atas jalan-Nya. Betapa banyak orang kafir yang mengurungkan niat untuk masuk ke dalam Islam karena melihat kondisi kaum muslimin yang memprihatinkan. Dan fakta yang tidak diragukan lagi bahwa sebagian kaum muslimin atau mereka yang tercatat dalam data statistik sebagai orang muslim, adalah mereka yang cuek terhadap Islam dan tidak menampakkan ajaran Islam dalam perikehidupannya kecuali hanya menyandang predikat bahwa dia adalah seorang muslim (Islam KTP).

Di antara mereka (muslim KTP) terdapat pula orang-orang yang melakukan praktek kesyirikan, yaitu pemeluk ajaran kebatinan yang mengultuskan para wali dan orang shalih. Merekalah orang-orang yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kekufuran. Wajib bagi para da’i untuk menerangkan dan memperingatkan umat akan kondisi mereka, sehingga tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk memeluk ajaran Islam dan membuat fitnah di dalam agama ini.

Demikian pula, hal yang patut diperhatikan adalah fokus berdakwah untuk memperbaiki keadaan para da’i dan tokoh masyarakat di setiap waktu dan tempat. Mereka inilah yang menjadi publik figur masyarakat. Jika mereka tidak berada di atas rel istiqamah, tidak komitmen dengan ajaran agama, sementara manusia banyak yang mengikutinya, maka mereka akan merusak banyak orang.

Simpulan

Kesimpulannya adalah berdakwah haruslah dilakukan dengan hikmah, dan salah satu hikmah dalam berdakwah adalah:

* Lebih memfokuskan perhatian untuk mendakwahi kaum muslimin. Berusaha untuk memperbaiki akidah, ibadah, dan akhlak mereka.
* Memfokuskan perhatian untuk membimbing dan menasehati sesama da’i dan tokoh masyarakat, sehingga mereka tidak menjadi penyebar kebatilan dengan perilaku mereka yang menyimpang dari ajaran agama.
* Da’i yang sukses lagi penuh hikmah dalam berdakwah janganlah lalai dari memperingatkan umat akan kondisi ahlul ahwa wal bida’, -pelaku bid’ah yang mengedepankan hawa nafsu- dan mereka yang menjadikan Islam hanya sebagai kamuflase belaka. Seorang da’i berkewajiban melakukan hal tersebut sehingga manusia tidak berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang disebarkan oleh mereka.
* Kemudian, tidak lupa, da’i patut mendakwahi orang-orang kafir dan menjelaskan keindahan Islam kepada mereka agar setiap da’i mengingat bahwa dakwah wajib dilakukan karena Allah dan hanya kepada-Nya, bukan kepada kelompok-kelompok tertentu.

والحمد لله أولا وآخرا وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Diterjemahkan dengan beberapa perubahan dari artikel Syaikh Salim ath Thawil, Da’watul Kuffar Ribhun wa Da’watul Muslimin Ra-sul Maal.

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id
Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Bulan Muharam adalah bulan yang muliah. Namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya. Bahkan lebih banyak salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).

Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.

Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra, bahwasanya ia berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “( HR Muslim )

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya : Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah saw belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

عن أبي هريرة t قال : قال رسول الله r : ( أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم ، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة صلاةُ الليل )

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim)

Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.”(HR Bukhari dan Muslim)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : "Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).

Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyura’, dan berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat Ibnu Abbas lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“

Apa keutamaan puasa pada hari Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas pada hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang telah dikerjakan selama satu tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Qatadah ra, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa ‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )

Dosa-dosa yang dihapus disini adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim harus bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.

Adapun hikmah puasa Asyura’ adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan pengikutnya serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Ibnu Abbas di atas.

Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram

Di dalam menghadapi Tahun Baru Hijriyah, sebagian kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut bisa dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah :

1. Menjadikan tanggal 1 bulan Muharram sebagai hari raya kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan cara saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya: Dua hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai )

Begitu juga, merayakan tahun baru adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari Asyura.”

2. Menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang lain melukai badan mereka dengan rantai.

3. Menjadikan malam 1 Muharram untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.

Sumber: hidayatullah.com


Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/10182/empat-kekeliruan-menyambut-muharam#ixzz18hRsWFir

Minggu, 19 Desember 2010

Hukum Meninggalkan Shalat

Hukum Meninggalkan Shalat
﴿حكم تارك الصلاة ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي



Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin


Terjemah :
MUHAMMAD YUSUF HARUN, MA

Editor :
Eko Haryanto Abu Ziyad



2010 - 1432



﴿ حكم تارك الصلاة ﴾
« باللغة الإندونيسية »

الشيخ محمد بن صالح العثيمين


ترجمة:
محمد يوسف هارون


مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو



2010 - 1432



بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Meninggalkan Shalat

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
قال الله تعالى:          
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. As Syuura: 10).
Dan Allah juga berfirman:
قال الله تعالى:                     
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa : 59 ).
Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.

Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:
قال الله تعالى:       •     
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).
Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:
قال الله تعالى:         •               •    
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).
Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:
• Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
• Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
• Hendaklah mereka menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat qishash karena membunuh:
قال الله تعالى:             
“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” (QS. Al Baqarah: 178).
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
قال الله تعالى:       •           
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93).
Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang:
قال الله تعالى:                               •           
“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).
Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
)) سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ((
“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
(( ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ))
“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab: “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.
Kedua: dalil dari As Sunnah
1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman) .
2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.
3- Diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Ummu Salamah radliallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا ))
“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya, barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:" Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ))
“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya: ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? beliau menjawab: "tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:
(( دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ  فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان))
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai'at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang-terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.

@@@@

Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya?
Jawab: Tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:
Pertama: Menghapuskan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman: "Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak bersabda: "Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
قال الله تعالى:  •      
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. (QS. An Nahl: 89).
قال الله تعالى:      ••    
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …”. (QS. An Nahl: 44).
Kedua: Menjadikan ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita:
(( لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ))
“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.”
Demikian pula, jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil naqli (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari (logika) pun demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:
(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.”
(( سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ))
“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan:
Pertama : Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.
Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga: Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat: Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda:
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Di sini digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama "Iqtidha ashshirath al mustaqim" cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
Ia mengatakan: sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya: kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.
Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.
Penggunaan kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Berbeda dengan kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang digunakan dalam kalimat positif.
@@@@

Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
قال الله تعالى:         • •              •    
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).
Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang Imam terkenal mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Dituturkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata: “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut: “dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”
Jika ada pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.
Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.
Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
قال الله تعالى:  •          •    
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa: 48).
Firman Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum.
Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka”. (HR. Bukhari).
Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Contohnya: Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ الثَّوْبِ " وفيه " وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا ))
“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) .”
Shilah berkata kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulang-kali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.
Orang-orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.