Kamis, 07 Oktober 2010

Seberapa Jahiliyahkah Zaman Kita?

Thursday, 02 September 2010 00:35
E-mail Print PDF
Apakah yang berbeda pada masa jahiliyah dengan zaman sekarang ini?

Oleh: Syahrul Efendi D

Istilah jahiliyah bagi sebagian orang masih enggan untuk diperbincangkan. Bukan karena apa. Tapi orang maklum bahwa istilah itu berkonotasi keras dan tidak toleran. Seolah-olah dalam kesadaran orang tumbuh mesin detektor penyeleksi bagi segala pikiran yang dianggap tidak toleran. Orang amat merasa sial kalau dituduh tidak toleran.

Orang lebih memilih pura-pura toleran dengan mengerem segala wacana yang tidak toleran daripada menjadi jujur apa adanya.

Tapi ini bukan soal toleran atau tidak. Ini soal kemauan untuk membuka masalah secara jujur: apa benar kita jahiliyah atau tidak. Dan sejauh mana kejahiliyahan kita apabila dibandingkan dengan masa sebelum Muhammad. Sebab munculnya istilah jahiliyah untuk menggambarkan situasi masyarakat pra Islam di Mekkah. Disebut jahiliyah karena memang acuan nilai masyarakat pra Islam sungguh amat bodoh. Benar-benar berada di luar akal sehat.

Sekedar mengambil gambaran singkat sejahiliyah apakah situasi ketika itu, kita dapat menilainya dari puisi-puisi yang diciptakan di masa itu. Puisi-puisi itu amat berguna mendeskripsikan situasinya. Hal ini misalnya tergambar oleh rangkaian syair Zuheir bin Abi Salma, seorang penyair terkenal di zaman jahiliyah:

“Siapa saja yang tidak menjaga kehormatan diri dan kebebasannya dengan pedang dan senjatanya, Akan dimusnahkan orang, begitu juga siapa yang tidak melakukan kezaliman terhadap orang lain, akan menerima kezaliman orang lain ke atas dirinya.”

Juga digambarkan oleh pepatah Arab zaman jahiliyah yang berbunyi:

“Bantulah saudaramu baik dia seorang zalim atau seorang yang dizalimi.”

Minuman keras dan judi merupakan kebiasaan sehari-hari yang sangat meluas di masyarakat. Bahkan merupakan suatu kebanggaan masyarakat.

Gambaran masyarakat itu dilukiskan oleh penyair Tarfah bin Al-Abd: “Seandainya tiada tiga syarat kebanggaan pemuda, hidupku takkan meriah dan aku tak akan menjamu teman sebaya: Bujukan manis si genit jelita berwajah ayu, hidangan arak membuih, si genit pembuka selera, kepingan uang gemerincing menjamu teman seiring, uang baru dan sisa peninggalan lama, semuanya ku hamburkan seenak rasa. Aku ingin disanjung dipuja. Akulah pemuda gagah perkasa…”

Pelacuran dalam berbagai bentuknya sudah menjadi tradisi kebanggaan masyarakat jahiliyah, seperti yang tergambar dalam hadis riwayat Aisyah RA:

"Perkawinan di zaman jahiliyah ada empat jenis: Pertama: Perkawinan seperti yang berlaku di zaman kita, yaitu seorang lelaki meminang seorang anak perempuan orang lain yang halal dinikahinya, atau seorang perempuan yang di bawah jagaan orang lain yang menjadi walinya; manakala pihak kedua itu menerima pinangan itu, maka terjadilah perkawinan.

Kedua: Seorang suami berkata kepada isterinya ketika si isteri itu suci dari haidnya: pergilah kau menemui si anu itu dan ambillah keturunannya, lalu si suami itu tidak menyetubuhi isterinya itu hingga didapatinya si isteri itu mengandung hasil hubungan jenis dengan orang yang disuruh ambil keturunannya itu. Dan bila jelas si isteri telah benar-benar mengandung, barulah si suami itu menyetubuhi isterinya kalau dia mau.

Sang suami menyuruh isterinya berbuat demikian karena dia menginginkan seorang anak yang pintar. Perkawinan jenis ini dinamakan “kawin mencari anak pintar.”

Ketiga: Sekumpulan laki-laki, kira-kira tak sampai sepuluh orang, bersepakat menyetubuhi seorang perempuan tertentu. Semua mereka melakukan persetubuhan itu (sesuai giliran masing-masing). Bila si perempuan hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa waktu setelah kelahiran anak itu, maka perempuan tadi pun menjemput setiap orang yang terlibat dalam kesepakatan menyetubuhinya itu dahulu, dan dalam hal ini tidak seorang pun yang bisa mengelak dan melepaskan diri.

Setelah peserta kesepakatan itu berkumpul, maka perempuan itu pun berkata: “Wahai lelaki sekalian, kamu semua tentunya telah maklum tentang apa yang telah kalian lakukan. Nah ini dia, aku telah melahirkan anak kalian. Ini anakmu wahai si fulan...., beri namalah anakmu ini sesuka hatimu,” lalu diserahkannya anak itu kepada orang yang dipilihnya itu, dan orang itu tidak boleh menolak.

Keempat: Beberapa orang berkumpul untuk menyetubuhi seorang perempuan secara bergiliran (tanpa kesepakatan apa pun) dan perempuan itu tidak boleh menolak siapa saja yang ingin menyetubuhinya. Perempuan itu akan meletakkan selembar kain sebagai tanda di pintu rumahnya kalau ada seseorang yang sedang menyetubuhinya (siapa saja yang suka boleh menyetubuhinya).

Bila perempuan lacur itu mengandung dan melahirkan anak, seluruh lelaki tadi akan berkumpul dan membuat kesepakatan dan persetujuan sesama mereka tentang siapakah di antara mereka yang patut menjadi bapak anak itu; dan orang yang dipilih itu tidak boleh menolak keputusan bersama itu dan mesti sanggup menerima tanggungjawab sebagai ayah si anak itu. (HR Bukhari di dalam Bab Al-Nikah)

Lalu apakah yang berbeda dengan ungkapan yang sering kita dengar di zaman ini? Ada ungkapan zaman ini, “Sekarang yang haram saja susah, boro-boro yang halal.”

Budaya pop yang mengalir deras dewasa ini, mulai dari lirik-lirik lagu yang amat rendah secara moral, ketidakpedulian masyarakat terhadap perzinahan, hingga bumbu-bumbu setiap even baik konser musik maupun launching produk yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda birahi, seakan suatu menu wajib yang pasti ada. Apakah ini tidak mirip dengan situasi jahiliyah di masa pra Islam?

Mari kita beralih ke masalah yang menimpa zaman kita dewasa ini dengan sebuah kebodohan yang nyaris tiada bandingannya dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Perhatikanlah masalah ini.

Dewasa ini kita semua dihantui oleh soal hancurnya tempat kita berhuni: Bumi! Anehnya semua tahu bahwa masalah ini akibat kerakusan manusia sendiri: industrialisasi dan over konsumsi. Industrialisasi menciptakan cerobong-cerobong pabrik di berbagai penjuru bumi. Over konsumsi menghanguskan energi-energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara. Semuanya menyumbang pemanasan global. Global warming, kata mereka.

Dalam beberapa abad atau mungkin tidak sampai beberapa abad, bumi akan hancur. Setidaknya separuh daratan tempat manusia tinggal akan tenggelam akibat gunung salju di kutub mencair.

Orang yang waras tentu menjawab selamatkan bumi dengan mengurangi konsumsi dan menghindari industrialisasi yang menghasilkan CO2. Tapi rupanya tidak banyak yang waras. Sebab kalau itu solusinya akan mengancam supremasi Negara-negara industri. Kalau demikian adanya, berarti hal ini sudah lain. Ini soal nafsu setan sebagian negara itu.

Anehnya banyak orang menerima ketidakwarasan ini. Solusi dengan penghutanan besar-besaran yang diusulkan negara-negara industri tersebut diterima secara wajar, meskipun tetap dihantui momok global warming. Apakah jenis keadaan mutakhir semacam ini bukan bentuk jahiliyah?

Jahiliyah kuno sifatnya tetaplah sama dengan jahiliyah mutakhir. Dalam hati kecil tahu bahwa hal itu tidak masuk akal, tetapi tetap dibiarkan karena menyangkut masalah kepentingan para pembesar dan kebiasaan yang sudah mengakar.

Membongkar dan memusnahkan kejahiliyahan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berpikir murni dan lurus. Orang semacam ini baru bisa lahir dari rahim Islam yang murni yang tunduk sepenuhnya kepada Allah, bukan kepada manusia.

Penulis adalah mantan Ketua Umum PB HMI MPO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar