Minggu, 12 Desember 2010

Mewawancari seorang ‘alim-mujahid Palestina di tengah berkecamuknya Perang Gaza sungguh tidak mudah. Apalagi tokoh yang hendak diwawancarai adalah seorang yang pernah berkali-kali dipenjara dan disiksa oleh Israel, sampai buta total kedua matanya. Sampai sekarang, ia masih “mengantongi” vonis hukuman mati dari pengadilan militer Israel.

Majalah Suara Hidayatullah harus menyicil wawancara sampai tiga kali di tiga tempat berbeda, karena begitu padatnya kesibukan Syaikh Abu Bakar al-‘Awawidah (49). Namun, begitu wawancara sudah mengalir, suasana berubah menjadi sangat hangat dan penuh kekeluargaan. Pengawal dan asistennya yang setia menemani dengan senjata, juga ikut hanyut dalam suasana yang akrab dan bersahabat.

Ditemui di beberapa lokasi di Damaskus, ibukota Republik Arab Suriah, Syaikh Abu Bakar berkali-kali meminta maaf karena wawancara harus terpotong-potong. Anggota Rabitatul ‘Ulama Filistin (Perhimpunan Ulama Palestina) ini harus bergerak terus untuk menjelaskan kepada masyarakat luas pentingnya berjihad harta untuk membantu Gaza.

“Waktu untuk keluarga saja sudah hampir tidak ada, apalagi untuk Anda,” katanya kepada Suara Hidayatullah sambil tersenyum.

Sejak 1992, bersama istri dan delapan anaknya, Syaikh Abu Bakar terpaksa hidup di Damaskus, 200 km dari Dora, Khalil-Hebron, kota kelahirannya yang juga tempat bersemayamnya jasad Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihis-salam.
Tubuhnya yang jangkung selalu menunduk, bicaranya lembut, murah senyum, dan ke mana-mana lengannya harus dituntun karena matanya buta akibat dipukuli dan disetrum serdadu Zionis selama 54 hari berturut-turut, pada 1981.

Namun begitu, gelapnya dunia di mata Abu Bakar sama sekali tak mengurangi keteguhannya memberi penerangan ruhiyah dan ilmiyah kepada rakyat Palestina yang terusir dan harus bermukim di Suriah, jumlahnya sekitar setengah juta orang.

Perjalanan hidup Syaikh Abu Bakar adalah simbol ketangguhan dan kesabaran bangsa Palestina menghadapi penindasan dan perampokan Zionis Israel.

Silakan menyimak wawancara wartawan Suara Hidayatullah, Muhammad ‘Isa di tengah musim dingin Suriah yang menggigit.

Dari sudut pandang seorang ulama Palestina di luar daerah pendudukan, apa yang Anda rasakan selama hari-hari penyerangan terhadap Gaza tempo hari?

(Syaikh Abu Bakar memulai jawabannya dengan bismillah, alhamdulillah, dan shalawat kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (SAW)). Saya merasakan bahwa peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza adalah akibat dari kelalaian umat Islam sedunia, termasuk para ulama, pemerintah Muslim, dan tentara Muslim di seluruh dunia..

Mereka mendiamkan embargo dan berbagai kejahatan terjadi atas Gaza dan Palestina, dan kemudian terjadilah penyerangan besar-besaran itu di depan mata mereka dan mereka tidak bisa berbut apa-apa.
Saya dan kawan-kawan di Rabithah Ulama Palestina akan terus menyerukan ajakan lewat pertemuan-pertemuan dalam bentuk apapun, agar tidak terjadi lagi apa yang telah terjadi di Gaza. Tidak ada jaminan bahwa ini tidak akan terjadi di tempat lain atas umat Islam.

Kezaliman seperti di Gaza terjadi juga di Somalia, Sudan, bahkan Myanmar. Mengapa jihad di Palestina dianggap lebih penting daripada di negeri lain?

Kedudukan jihad di dalam syariat Islam, di manapun terjadinya, memiliki kemuliaan yang sama. Ketika umat Islam diserang dan dizalimi karena keimanannya, maka kaum Muslimin yang ada di tempat itu atau yang terdekat dari tempat itu wajib berjihad. Pahala yang dijanjikan Allah Subhanu wa Ta’ala (SWT) juga sama mulianya.

Namun, Palestina adalah tanah di mana semua konflik yang terjadi berakar dari perselisihan akidah, bukan karena yang lain. Hal ini dimaktubkan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an, juga di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah SAW melalui Hadits-haditsnya.

Selain itu, sepanjang sejarah, al-Aqsha adalah barometer kemenangan umat Islam sedunia. Ini adalah masjid ketiga yang disucikan dan terminal penting peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj, sebuah peristiwa yang diabadikan di dalam al-Qur’an dan berpengaruh besar atas akidah kita. Saya juga sedih setiap kali mendengar kaum Muslimin ditindas di Iraq, di Afghanistan, di Chechnya, di Kashmir, di Somalia, di Pattani, dan di Mindanao.

Namun, pada saat yang sama, berbagai peristiwa itu membuktikan bahwa umat ini sedang bangkit pelan-pelan melawan kebatilan. Semoga Allah SWT membimbing kita meniti tangga kemenangan lewat ketakwaan kita kepada Allah SWT. Tidak ada kemenangan tanpa ketaatan kepada Allah SWT.

Seandainya apa yang terjadi di Gaza menimpa bangsa Indonesia, belum tentu mereka sesabar Gaza. Apa yang telah diajarkan ulama Palestina sehingga lahir Gaza yang begitu tangguh?

Rahasianya, para ulama Gaza dan Palestina mengokohkan Masjid al-Aqsha sebagai bagian dari agama. Kalau Masjid al-Aqsha sampai dijajah musuh, maka umat Islam dalam keadaan terhina. Kalau umat Islam berhasil membebaskannya, maka ‘izzah (wibawa dan kemuliaan) umat Islam juga akan terangkat.
Nyawa adalah harta yang kami siapkan untuk membebaskan Masjid al-Aqsha. Ketika penjajahan atas Palestina dimulai tahun 1947, lalu diperluas tahun 1967, jutaan orang Palestina terus-menerus mengungsi meninggalkan Masjidil Aqsha dan Palestina. Waktu itu kami berjuang atas nama kebangsaan atau ke-Arab-an kami.

Alhamdulillah, sejak Intifadhah pertama, 21 tahun yang lalu, kami berjuang atas nama Islam, jihad fii sabiilillah, semata-mata mencari ridha Allah SWT, tak peduli apakah kami tetap hidup atau mati.
Sejak itu, tidak pernah tercatat ada orang Palestina yang kabur dari Palestina. Justru sekarang ribuan orang mengantri di Rafah untuk masuk ke Gaza, padahal mereka tahu masuk ke Gaza berarti masuk ke dalam lubang kematian.

Begitu banyak ulama, ustadz, dan murabbi di Indonesia, tapi kekuatan aqidah yang seperti itu belum terlihat. Belakangan malah ada kecenderungan berkompromi pada hal-hal yang syubhat, bahkan haram. Apa yang bisa diserukan oleh para ulama Palestina kepada para ulama Indonesia untuk diajarkan kepada umatnya?

Sebenarnya, tarbiyah yang diajarkan sama-sama bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, namun ada titik perbedaan yang signifikan, yaitu keberkahan. Allah SWT hanya akan menurunkan keberkahan kepada suatu bangsa kalau bangsa itu hidup dengan al-Qur`an.

Al-Qur`an harus menjadi bacaan yang dicintai oleh semua orang dari taman kanak-kanak sampai para pejabat pemerintahan. Bukan saja mempelajarinya harus menjadi kegiatan terpenting, tetapi semua orang harus bergegas menghidupkannya dalam kegiatan sehari-hari.

Ibu-ibu mengurus rumah dengan al-Qur`an. Anak-anak sibuk menghafal al-Qur`an. Pedagang berbisnis dengan cara al-Qur`an. Pejabat melayani masyarakat dengan akhlaq al-Qur`an. Polisi menjaga keamanan dan ketertiban dengan ketaatan kepada al-Qur`an.

Bagaimana ulama Palestina membangun kekuatan al-Qur`an itu di Gaza?

Kami mulai dari yang sederhana. Diusahakan di setiap rumah di Gaza harus ada minimal satu orang anak yang menghafal al-Qur`an. Jika ada satu rumah yang tidak ada satu orang pun yang menghafal al-Qur`an akan menjadi aib.

Dengan begini, otomatis, orangtuanya akan mendorong semua anaknya menghafal al-Qur`an. Bahkan orangtuanya sendiri juga mulai menghafal al-Qur`an.

Lalu di setiap masjid harus selalu ada daurah al-Qur`an, yang memberikan pemahaman yang benar mengenai isi al-Qur`an yang hebat itu.

Tahun lalu, para ulama mengadakan daurah al-Qur`an selama liburan musim panas dua bulan. Hasilnya, di akhir daurah itu diwisuda 5.000 orang hufazh al-Qur’an. Mudah-mudahan tahun ini juga bisa dilaksanakan.

Di Indonesia juga ada banyak ulama dan pesantren yang menghasilkan hufazh al-Qur’an, tetapi mengapa belum terasa ketangguhan generasi baru seperti di Gaza?

Di atas semua itu, yang paling penting, para ulamanya jangan hanya menceramahkan al-Qur`an. Tumpahkan darah kalian untuk al-Qur`an. Jangan berkompromi kepada kemaksiatan dan kemusyrikan. Jangan berkompromi pada kejahatan yang diarahkan musuh-musuh kepada umat yang Anda bimbing. Hanya dengan darah ulama keberkahan akan diturunkan Allah SWT.

Kami merasakan sendiri, bagaimana keberkahan perjuangan umat Islam di Palestina bertambah-tambah justru sesudah tertumpahnya darah Syaikh Ahmad Yasin, dr Abdul Aziz ar-Rantissi, begitu juga Dr Abdullah Azzam di Afghanistan. Termasuk dua ulama dan pemimpin kami di Gaza yang kemarin syahid, Sayyid Siyam dan Nizar Rayyan (Menteri Dalam Negeri Palestina di Gaza dan salah satu ulama dan Panglima Hamas).
Mereka tidak cuma membicarakan al-Qur`an, mereka mengorbankan darah mereka agar umat yang dibimbingnya bisa hidup dan mati selamat dengan al-Qur`an.

Di Indonesia, musuh yang secara terang-terangan menyerang umat Islam dengan senjata belum ada lagi. Mungkinkah ulama Palestina mengundang ulama Indonesia untuk menyaksikan langsung perjuangan di Gaza?

Undangan atau ajakan terbuka jangan hanya untuk ulama Indonesia, tetapi untuk semua unsur bangsa Indonesia. Para ulama Indonesia wajib mendatangi para pengambil keputusan di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat. Beritahukan mereka bahwa terjadi kezaliman besar di Palestina, dan ini sudah berlangsung 60 tahun.

Apa yang terjadi di sini sama persis, dan bahkan lebih parah lagi, dari apa yang pernah dialami bangsa Indonesia selama 350 tahun. Tanah bangsa Indonesia dirampok dan dikuasai Belanda.
Seluruh tanah yang sekarang diakui sebagai negara Israel adalah tanah Palestina. Tanah orang Palestina dirampok. Para ulama kami dibunuhi dan disiksa di berbagai penjara.

Kebun-kebun kami dirusak. Pemuda-pemuda kami diculik dan dipenjara tanpa proses hukum. Lalu Israel mengumumkan kepada dunia bahwa orang Palestina adalah pengganggu keamanan negerinya.
Mereka sedang berusaha menghapus kejahatan mereka. Seakan-akan yang terjadi adalah konflik antara dua bangsa yang bertetangga, Israel dan Palestina.

Bukan! Ini bukan konflik dua bangsa yang bertangga. Ini adalah perampokan. Tanah dan rumah kami dirampok. Lalu perampoknya mengajak berdamai, dan menyuruh kami hidup di salah satu sudut tanah yang sempit bernama Gaza dan Tepi Barat. Sedangkan mereka ingin berkuasa atas seluruh tanah, air, laut, dan udara Palestina.

Apakah Indonesia mau menerima diperlakukan begitu oleh Belanda? Demi Allah, dan demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin, kami juga tidak akan pernah menerima perlakuan seperti ini.

Hamas masuk sistem demokrasi dan ikut pemilu. Di Indonesia, masyarakat menyaksikan gerakan dakwah yang ikut pemilu banyak melakukan kompromi yang bersifat syubhat. Bagaimana Hamas menjaga agar tidak terjadi seperti ini di kalangan para kadernya yang terlibat demokrasi?

Tidak ada kata cukup untuk tarbiyah. Sebelum masuk parlemen kami mematangkan diri dengan 40 tahun tarbiyah di bidang dakwah dan tanzim dengan hanya berasaskan al-Qur`an dan as-Sunnah.
Bagi sebuah kekuatan tarbiyah yang sudah mengakar, kemenangan pemilu itu bukan barang istimewa. Itu mudah, dengan izin Allah SWT, dan jika memang diperlukan diambil.

Tapi, kemenangan pemilu bukan kemenangan sesungguhnya. Karena itu, kemenangan pemilu tidak boleh menjadi tujuan yang menghalalkan segala yang syubhat apalagi haram.

Misalnya, kami tidak pernah berkompromi mengenai tujuan Hamas untuk mengajak seluruh bangsa Palestina hidup mulia dengan syariat Islam, atau mati Syahid karena membela Islam. Ini harga mati.
Tidak mungkin kami berkompromi untuk menang pemilu dengan mengatakan, bahwa tujuan kami adalah membangun sebuah negara Arab Palestina yang sekular.

Kalau itu kami lakukan, perjuangan kami menjadi nisbi. Seperti debu yang langsung hilang begitu tertiup angin. Kelihatannya besar, padahal keropos di akar-akarnya. Kami bisa jadi banci.
Tarbiyah yang benar melahirkan para laki-laki sejati, yang ciri utamanya tidak akan berkompromi sejengkal pun bila sudah menyangkut syariat Islam. Apapun risikonya.

Dia boleh bekerja di bidang apapun, militer, media, parlemen, semua bergerak bersama tampil sebagai lelaki mukmin. Yang halal dikatakan halal. Yang haram dikatakan haram. Hanya dengan cara itu Allah SWT akan membantu.

Meskipun demonstrasi besar untuk mendukung Palestina sering terjadi di Indonesia, namun dukungan keuangan maupun politik belum seberapa. Apa usul Anda untuk meningkatkan dukungan itu?

Kami selalu berbesar hati melihat kecintaan rakyat Indonesia yang turun ke jalan membela Palestina. Mungkin yang perlu ditingkatkan adalah pendekatan kepada media massa. Kalau lewat media massa bisa kita sebarluaskan informasi yang benar bahwa masalah Palestina adalah masalah akidah, bukan politik dan militer semata, maka akan sangat baik sekali.

Jadi lemahnya dukungan bangsa Indonesia kepada perjuangan membebaskan Masjidil Aqsha dan Palestina menunjukkan lemahnya ke-Islam-an mereka?

Saya tidak mengatakan agama umat Islam di Indonesia itu lemah. Yang terpenting bagaimana bangsa Indonesia semakin faham akan kebaikan-kebaikan al-Islam, sehingga tertarik hidup dan mati di atasnya.
Jika itu terus kita lakukan dengan segala cara, insya Allah akan banyak masalah bangsa Indonesia yang akan teratasi dengan sendirinya.

Tadi Anda katakan, sejak Intifadhah 1987 lebih banyak orang yang kembali masuk ke dalam Palestina, khususnya Gaza. Dalam situasi ekonomi yang berat, apakah para pendatang itu menjadi beban atau justru meringankan kesusahan rakyat Gaza?

Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita, “Bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi hubbud-dunya wa karahiyatul maut (cinta kepada dunia dan benci kepada mati). Maka berlomba-lomba mendapatkan kekayaan dunia itu akan membinasakan kalian.”
Berapapun banyaknya orang datang ke Gaza, tidak akan membuat kita khawatir karena dua hal. Pertama, orang yang berani datang ke Gaza di saat negeri itu sedang dizalimi hanyalah orang yang benar-benar memahami masalah dan datang untuk membantu.

Kedua, sedangkan rakyat Gaza yang memang sudah berada di sana, mereka sudah begitu tangguh ditempa berbagai kesusahan dan kezaliman. Mereka makan apa yang mereka tanam, dan pakai apa yang mereka jahit. Yang terpenting, jari telunjuk mereka selalu terangkat ke atas (menunjukkan keyakinan dan prasangka baik kepada Allah Ta’ala). Jalan ke surga memang susah, dan rakyat Gaza yang ikhlas ada di depan kita beberapa langkah (tersenyum).

Jadi kalau ada bantuan untuk Gaza, akan diprioritaskan untuk apa?

Penting untuk kita catat bersama-sama, yang memenangkan perjuangan ini adalah ridha Allah SWT, bukan uang yang datang. Sedangkan ridha Allah SWT hanya turun karena ruhul ibadah dan ruhul jihad kita yang suci.

Jadi bagi kami, yang terpenting adalah, bagaimana mengubah semua dana bantuan yang datang menjadi pendorong semakin tingginya kualitas ruhul ibadah dan ruhul jihad. Itu prioritas.
Tidak boleh ada dana bantuan yang menyebabkan rusaknya ruhul ibadah dan ruhul jihad. Karena itu, kami tak pernah mempermasalahkan besar kecilnya bantuan. Meskipun bantuan dari rakyat Indonesia tidak sebesar dari saudara-saudara negeri lain, yang kami tunggu adalah keberkahan Allah SWT yang turun karena keikhlasan kalian (tersenyum). Dana yang datang ke Gaza diprioritaskan untuk membeli senjata, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.

Langkah besar apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan di Gaza?

Sebagaimana dinyatakan oleh saudara kita, Khalid Misy’al (Kepala Biro Politik Hamas), perjanjian apapun yang tidak menyentuh soal dibukanya semua pintu perbatasan ke Gaza, pembebasan semua tahanan Palestina di penjara Israel, serta hak pulang rakyat Palestina ke tanah Palestina yang terjamin, akan kami tolak.

Jika perbatasan Gaza-Rafah dibuka saja, akan sangat meringankan beban rakyat Gaza. Waktu tahun lalu dinding pemisah dihancurkan rakyat, tidak satu pun dari mereka kemudian menetap di Mesir. Mereka hanya menyeberang sebentar membeli berbagai keperluan harian, lalu kembali ke Gaza. Meskipun menderita, mereka akan tetap menjaga ‘izzah-nya dengan tinggal di Gaza.

Secara ekonomi, kami sedang memulai Ekonomi Perlawanan (Iqtishadul Muqawwamah), di mana di setiap rumah di Gaza harus ada sedikit banyak barang yang dihasilkan untuk bisa dijual. Seberapapun kecil. Sebisa mungkin para pemimpin membantu permodalannya.

Ada kalangan yang menilai Hamas terlalu dekat bergaul dengan Iran dan Hizbullah yang Syi’ah. Kata mereka, “Tidak akan berhasil perjuangan mereka yang berteman dengan kaum yang mencela para sahabat dan isteri Rasulullah SAW (syi’ah).” Bagaimana Anda menjawab hal ini?

Orang Iran dan Hizbullah itu sudah tahu bahwa Hamas itu Sunni. Hamas juga menjaga hubungan baik dengan semua pihak selama mereka tidak mengganggu perjuangan Islam, sebagaimana Rasulullah SAW juga melakukannya.

Sebelum Khalid Misy’al berkunjung ke Iran, dia juga sudah menemui para pemimpin Syria, Qatar, Sudan, dan Turki, baru setelahnya ke Iran. Kelima negara ini merupakan yang paling jelas dukungannya kepada perjuangan rakyat Palestina. Kunjungan tersebut untuk menyampaikan terima kasih atas dukungan mereka selama ini, terutama saat terjadi pembantaian di Gaza.
Tolong sampaikan kepada saudara-saudara kita di Indonesia, tidak ada seorang pun yang syi’ah di Hamas. Semua Sunni.

Karena Hamas sedang sangat populer, boleh jadi ada orang yang menganggap kedekatan Hamas dengan Iran dan Hizbullah bisa mengaburkan problem akidah Syi’ah di mata awam?

Hamas menjalin kerja sama secara politik dengan pihak manapun, namun tidak ada satupun pihak yang dibiarkan mendominasi pengambilan keputusan di dalam Hamas. Tidak ada kerja sama secara akidah dengan Iran dan Hizbullah.

Venezuela dan Bolivia yang bukan negara Islam saja sangat mendukung perjuangan rakyat Palestina. Jadi, wajar sajalah kalau kami mengucapkan terima kasih kepada mereka, termasuk kepada Iran.
Komitmen Hamas, akidah dan syariat Islam yang sedang ditegakkan di Palestina, adalah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, yang tentu saja mengikuti manhaj Rasulullah SAW dan para Salafush Shalih.***SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2009

Box

Buta tapi Selalu Bersyukur

Syaikh Abu Bakar memiliki 15 saudara dari dua orang ibu. Dari jumlah saudara itu, yang bersaudara seibu dengannya 6 laki-laki dan 4 perempuan.

Setamat SMA di Dora, ia melanjutkan belajar di Ma’had Syari’ah al-Quds untuk persiapan sebagai imam dan khatib tahun 1979. Pada masa itulah, ia berkenalan dengan gerakan dakwah Al-Ikhwanul Muslimun.
Bersama kolega belajarnya dan para ustadz di ma’had itu, mereka mempersiapkan diri berjihad di jalan Allah SWT merebut kembali tanah-tanah Palestina yang dirampas Zionis Israel. Keinginan mereka ditolak oleh faksi perjuangan Marxis dan sekular yang waktu itu menguasai sebagian besar struktur Palestinian Liberation Organization (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat.

Sambil terus belajar di ma’had itu, Abu Bakar mengikuti kuliah musim panas di Universitas Beirut jurusan filsafat dan sosiologi. Abu Bakar semakin aktif dalam kegiatan tarbiyah (pendidikan Islam) baik untuk dirinya sendiri, maupun membina pemuda-pemuda Palestina lewat daurah (kursus) al-Qur’an di masjid-masjid, ma’had-ma’had dan sekolah-sekolah.

Kegiatan-kegiatan itu dilakoninya sepanjang sepuluh tahun berikutnya. Berkali-kali pula ia harus keluar masuk penjara dan disiksa oleh Zionis Israel akibat kegiatannya itu.

Pada tahun 1981, misalnya, ia dipenjara dan disiksa selama 54 hari. Begitu juga tahun 1982 ia dipenjara selama 5 bulan. Tahun 1983 selama 15 hari, tahun 1988 selama 6 bulan, tahun 1990 ia ditangkap dua kali: pertama 37 hari, kedua 14 hari, dan tahun 1991 ia mendekam di penjara selama 5 bulan.
Belum lagi, di luar itu ia berkali-kali ditangkap dan disiksa oleh Israel selama beberapa jam.
Puncaknya pada tahun 1992, Syaikh Abu Bakar Al-’Awawidah ditangkap dan diusir ke Marj Az-Zuhur, daerah perbatasan antara Palestina dan Lebanon, bersama 414 orang mujahidin Palestina lainnya, di antara asy-Syahid dr Abdul Aziz Al-Rantissi.

Di tanah tak bertuan itu, mereka dipaksa kerja fisik siang malam di kawasan yang hampir selalu bersalju selama setahun. Sesudah setahun, yang dibolehkan kembali ke Palestina hanya 401 orang. Sedangkan 13 orang lainnya diusir ke berbagai negara, termasuk dirinya ke Suriah.

“Jika kami nekat masuk Palestina, mereka mengancam akan langsung membunuh kami,” tutur Abu Bakar.
Penangkapan yang pertama kali dialami Syaikh Abu Bakar Al-’Awawidah adalah yang paling fatal (1981). Selama 54 hari, ia tanpa henti disiksa dengan keras, tanpa proses pengadilan. Tubuhnya digebuki habis-habisan oleh empat atau lima orang serdadu Zionis sekaligus. Sasaran utama kepala dan alat vital.
“Sakitnya berlipat-lipat jika kita dipukul dan ditendang sambil tangan diikat ke belakang dan kepala saya ditutup dengan kantong plastik,” kenangnya.

“Sebagai manusia, saya hanya bisa bersabar waktu itu.”

Akibat dipukuli dengan balok kayu dan disetrum terus-menerus, kedua penglihatannya meredup dan lama kelamaan buta sama sekali, sampai sekarang.

Begitu juga punggungnya berkali-kali mengalami patah. Akibatnya, jika duduk di lantai atau karpet, Abu Bakar selalu harus mengubah posisinya beberapa kali karena menahan sakit.

Selain dipukuli, waktu itu ia baru berusia 21 tahun, jenggotnya dicabuti lalu disumpalkan ke mulutnya, dan dipaksa untuk menelannya.

“Waktu itu saya disiksa berempat dengan kawan saya, ditambah salah seorang ustadz di Ma’had Al-Quds,” kenang Abu Bakar.

Di waktu yang lain, tangannya diikat di belakang dan dipaksa berdiri terus menerus selama 7 jam. Abu Bakar merasa seluruh persendian dan kulitnya mati rasa, sampai-sampai ketika kencing di celana pun tak bisa dirasakan lagi.

Ia juga pernah dipenjara di ruang isolasi selama 25 hari tanpa cahaya sama sekali, hanya ada celah udara sedikit. Selama itu dia melakukan shalat tanpa berwudhu, hanya tayamum. Kalau tangan diikat, maka shalat pun dilakukan dengan berdiri.

Namun Abu Bakar bersyukur kepada Allah SWT atas pengalamannya dipenjara oleh Zionis Israel berkali-kali. Bersyukur? Betapa tidak, di penjara-penjara itulah justru ia menambah banyak ilmu karena koleksi bukunya yang lengkap.

Selain itu, ia juga berbulan-bulan ‘dipaksa’ tinggal dengan para ulama besar Palestina, di antara Asy-Syahid Syaikh Ahmad Yasin.

“Sebelum buta, saya hanya menghafal 4 juz al-Qur’an, sesudah dibikin buta oleh Israel saya malah bisa menghafal 20 juz,” katanya sambil tersenyum. ***SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar