Selasa, 04 Januari 2011

Mauluddin Akhyar: Pertaubatan Mantan Petinggi LDII

Posted by admin in Profil on 12 8th, 2010 | 34 responses

Mantan petinggi Islam Jamaah yang bertobat. Dari perenungan yang dalam, tak ingin yang lain terus salah jalan.

“Assalamu’alaikum, sudah lama menunggu?” tanya Mauluddin Akhyar (43 tahun) kepada Suara Hidayatullah yang berkunjung ke Pondok Pesantren Ibnu Taimiyyah, Kelurahan Kebokura, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, bulan lalu. Mauluddin adalah staf pengajar di pesantren tersebut. Pagi itu jadwal mengajarnya sedang kosong.

Mengenakan kopiah putih dan celana cingkrang dibalut sarung, disalaminya satu persatu beberapa lelaki yang ada di sana. Suasana begitu santai. Padahal dulunya Mauluddin adalah orang yang anti bersalaman dengan sembarang orang. Apa pasal?

Keluarga Islam Jamaah
Cerita bermula sekitar 31 tahun lalu, di Desa Mendahara Kab. Tanjung Jabung, Provinsi Jambi. Mauluddin lahir di desa ini dari orang tua yang memiliki latar belakang agama yang kuat. Ayahnya, H Abdul Fattah, adalah guru mengaji dan imam kampung. Begitu pun dengan ibunya, H Kumala.

Tahun 1975, Mauluddin sekeluarga pindah ke Sungai Jambat, Jambi. Selain dikenal dengan pertaniannya yang subur, daerah ini juga subur dengan aliran Islam Jamaah yang kini dikenal dengan nama Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII). Sebuah kelompok ekslusif yang mengkafirkan orang Islam di luar jamaahnya.

Walau mayoritas, namun aliran Islam Jamaah di Sungai Jambat mendapat penentangan hebat dari masyarakat setempat. Ketegangan pun sempat tak terelakkan. Sebagai bentuk kompromi, kepala desa memutuskan agar imam di Masjid Raya Sungai Jambat dilakukan secara bergantian. Sekali waktu diimami pihak Islam Jamaah, di waktu yang lain oleh non-Islam Jamaah.

Hal ini tidak berjalan mulus. Pada Shalat Jumat misalnya, pihak Islam Jamaah memang ikut shalat di masjid, tetapi setelah itu mereka akan mengulang lagi Shalat Jumatnya di rumah masing-masing. Karena mereka berkeyakinan tidak sah shalat bersama orang di luar kelompoknya.

Diam-diam pihak Islam Jamaah ternyata rajin mendekati Abdul Fattah yang sebenarnya menjadi motor penolakan warga terhadap Islam Jamaah. Perlahan dan pasti Abdul Fattah pun terpengaruh. “LDII (Islam Jamaah) terus melakukan pendekatan kepada orang tua (saya),” kata Mauluddin.

Tahun 1977, Fattah menjadi anggota Islam Jamaah yang fanatik. Ia menyekolahkan anak sulungnya, Abdul Qodir, ke pesantren Sukotiro. Sebuah pondok pengkaderan Islam Jamaah di Jombang, Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian, Abdul Qodir – yang sudah menjadi pengajar – membawa Mauluddin nyantri di Sukotiro. Saat itu Mauluddin masih duduk di kelas 4 sekolah dasar.

Islam Jamaah Geger
Ketika muncul buku Dalam Cengkeraman Amir Islam Jama’ah, tulisan Hasan Bisri dan Anshari Thayib, warga Islam Jamaah di mana-mana menjadi resah.

Khawatir akan pengaruh buku tersebut, petinggi Islam Jamaah di Sukotirto gencar melancarkan doktrinya kepada setiap santri, termasuk Mauluddin.

”Mereka mengutip perkataan Waraqah bin Naufal (paman Khadijah, istri Nabi), bahwa jalan kebenaran seperti Islam Jamaah tidak mudah. Pengikutnya akan dibenci, dimusuhi, bahkan sampai diusir dari kampung halamannya. Kebenaran akan selalu mendapat perlawanan dari orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Nabi dulu. Inilah bukti kebenaran,” ujar Mauluddin menirukan perkataan guru-gurunya dulu.

Walhasil, Mauluddin hanya boleh membaca buku-buku pegangan internal Islam Jamaah seperti Kitabul Adillah, Kitab Imaroh, Janaiz, Ahkam, dan Kanzul Umal. Selain itu haram dibaca. Semua disembunyikan. Dipendam, bahkan ada yang dikubur.

Doktrin yang juga sering dijejalkan ke dalam pikiran Mauluddin saat itu, orang Muslim harus punya amir (pemimpin) dan mentaatinya dengan cara dibaiat. Namun dalam ajaran Islam Jamaah, kata Mauluddin, yang dimaksud amir adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis, pendiri Islam Jamaah.

Dinilai berbakat dan pintar, pada tahun 1980 Mauluddin sudah menjadi mubaligh yang direkomendasikan oleh Keamiran Pusat Islam Jamaah. Tugas pertamanya di Pamekasan Madura selama dua tahun.

Dari Paku Bumi ke Wakil Empat
Pada Maret 1982, pendiri Islam Jamaah Nur Hasan Ubaidah meninggal. Dia digantikan putra sulungnya, Abdul Zhahir. Langkah pertama yang dilakukan Abdul Zhahir adalah membentuk ulama pusat yang dinamainya “Paku Bumi”. Yakni jabatan tertinggi dalam Islam Jamaah, sebelum Wakil Empat dan Amir Pusat.

Abdul Zhahir menghendaki calon Paku Bumi adalah anak remaja yang masih berusia 14 sampai 16 tahun. Mereka digembleng dari kecil agar ilmunya mapan dan berpengaruh.

Mauluddin termasuk anak yang direkrut. Bersama 81 anak lainnya dari beberapa daerah, ia dibawa ke Kediri untuk dibina. “Saat itu saya sudah yakin betul, tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam jamaah ini. Maka jamaah ini harus dikembangkan,” kenang putra Bugis ini.

Dianggap memiliki militansi dan loyalitas kepada gerakan, pada tahun 2004 Mauluddin diangkat menjadi Wakil Empat Islam Jamaah.

Perenungan Berbuah Taubat
Kendati mendapat fasilitas rumah pribadi “Rumah Fii Sabilillah”, mobil, dan motor. Hatinya tak pernah tenang. Beberapa ajaran gurunya dulu menjadi tanda tanya di kepalanya. ”Apakah ini benar?” katanya.

Tahun 2008, di hadapan wakil empat lainnya ia terang-terangan menolak ajaran sejumlah ajaran Islam Jamaah, terutama pengkafiran terhadap orang Islam di luar Islam Jamaah. Termasuk infak sebesar 10 persen bagi semua jamaah tanpa terkecuali. Jika tidak infak sebesar itu, dianggap haram. Bahkan ada ancaman tidak akan dishalatkan kalau mati.

Tingkah Mauluddin tercium sampai ke pucuk pimpinan. Mauluddin dianggap membangkang, kemudian dirinya diminta meninggalkan jabatan dan keluar dari pusat Keamiran Islam Jamaah di Kediri.

Dukungan Keluarga
Sejak itu dirinya diumumkan telah murtad, dan setiap warga Islam Jamaah dilarang berhubungan dengannya. ”Ada yang mengirimkan SMS ancaman pembunuhan kepada saya. Ada yang melaknat dan mendoakan agar saya cepat mati,” cerita Mauluddin tertawa.

Tidak sampai di situ, Mauluddin juga diisukan keluar dari Islam Jamaah karena sakit hati. Bahkan di beberapa daerah, dia juga diisukan menjadi tukang ojek dan hidup susah karena keluar dari Jamaah.

Sayangnya, orang tua Mauluddin masih aktif di Islam Jamaah. Namun mereka tidak protes atau marah. ”Orangtua lebih banyak percaya kepada saya,” katanya

Maluddin mengatakan, cara yang paling tepat untuk menyelesaikan dan memberikan pencerahan kepada anggota Islam Jamaah adalah dengan melakukan dialog.

”Saya ingin bicara dengan petinggi LDII, itu saja,” ujarnya. Jika dialog tidak menemukan titik temu, maka harus kembali kepada rujukan awal ke Darul Hadits, Makkah, di Arab Saudi. Sebab, katanya jangan sampai perkataan para ulama yang ada di Darul Hadits yang diakui pendiri Islam Jamaah sebagai sekolahnya, hanya dicomot seenaknya saja.

Dukungan istri dan anak-anak mengiringi perjuangan Mauluddin. Istrinya, Nur Falah, adalah orang yang selalu mengingatkan agar tetap tabah dan sabar. ”Istri mendukung penuh keputusan saya. Kepada anak-anak saya sampaikan mereka harus paham apa yang sebenarnya terjadi,” katanya.* Ainuddin Chalik / Suara Hidayatullah, NOPEMBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar