Sabtu, 02 April 2011

Intelijen, Bom Buku dan Tanah Tinggi

Intelijen, Bom Buku dan Tanah Tinggi
PostDateIconSaturday, 02 April 2011 20:06 | PostAuthorIconWritten by Shodiq Ramadhan | PDF Print E-mail

Lintas Berita

alt
Diduga ada kelompok-kelompok yang memiliki keahlian di bidang terorisme berupaya melemahkan rezim yang sedang berkuasa demi mencapai tujuan politik mereka

Maraknya paket bom yang belakangan terjadi, diduga kuat hanya sebagai alat pengalihan isu-isu besar yang menghantam pemerintah.

Misalnya saja pemberitaan harian Australia The Age dan The Sydney Morning Herald yang menghebohkan telah membongkar dugaan abused of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paket bom buku tersebut ditujukan kepada Ulil Abshar Abdala, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini menjadi anggota Partai Demokrat, Selasa (15/3/2011). Masih pada hari yang sama paket bom buku berikutnya ditujukan kepada Komjen Pol Gorries Mere di Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), dan pada malam harinya bom buku ditemukan juga di rumah Yapto Suryosumarno Ketua Pemuda Pancasila di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan.

Bom buku ini mengingatkan kita kepada pristiwa Bom yang meledak di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, 18 Januari 1998. Pada akhir tahun 1997 di tengah krisis moneter yang melanda Indonesia, belasan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta diancam akan diledakkan dengan bom di dalamnya. Masyarakat dibuat panik dengan isu bom ini. Hampir setiap hari terjadi pemandangan orang panik keluar dari gedung-gedung yang diancam bom.

Isu bom berakhir begitu saja setelah terjadi ledakan di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, yang diketahui sebagai markas Partai Rakyat Demokratik (PRD). Rupanya ancaman-ancaman bom itu ditengarai dari sini asalnya. Buktinya setelah itu tidak ada lagi ancaman bom.

Kalau kita ingat ledakan bom di Tanah Tinggi tersebut bunyinya terdengar sampai radius 500 meter. Getarannya memecahkan kaca-kaca pintu. Ledakannya menjebol atap eternit. Agus Priyono, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang tak lain merupakan anak organisasi PRD, ditangkap oleh Polda Metro Jaya di tempat kejadian. Agus divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman penjara selama tujuh bulan karena dianggap mengetahui rencana pengeboman tapi tidak melaporkannya ke pihak berwajib. Sampai dengan hari ini pelaku peledakan dan pemilik bom Tanah Tinggi yang sesungguhnya belum juga terungkap.

Ada rumor keterlibatan Sofjan Wanandi tapi tak jelas kelanjutannya, bahkan kasus bom Tanah Tinggi ini sempat meningkatkan tensi politik saat itu. Yang lebih menakjubkan lagi adalah menurut penuturan polisi, di tempat kejadian perkara terdapat sejumlah barang bukti, antara lain 10 botol bahan peledak, 11 detonator tombol bom, empat radio panggil, sebuah telepon genggam, dan sebuah komputer lipat (laptop) ditemukan. Artinya, ada indikasi bahwa gerakan itu bukan sembarangan. Ada tudingan bahwa kelompoknya akan melancarkan “revolusi”.

Sejumlah media kala itu menganalisa bahwa kasus tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari krisis ekonomi, yang mulai membelit Indonesia waktu itu. Setelah empat bulan berselang kejadian itu hilang seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998.

Jadi kalau bom Tanah Tinggi kita dudukan dengan kasus bom buku ini, sangat terbuka kemungkinan pelaku bom buku berasal dari kelompok-kelompok di luar Islam, ada fasilitator logistik, ada sukarelawan, maka bom bisa dibuat. Jangan lupa pelaku bom Tanah Tinggi yang sampai kini belum tertangkap menurut sumber Suara Islam (SI) pelakunya sempat bersembunyi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan sekucur luka di tangan dan kakinya karena gagal merakit bom Tanah Tinggi yang tiba-tiba meledak.

Dari kejadian tersebut kita bisa melihat bahwa hanya orang-orang tertentu yang memiliki keahlian khusus dan dilatih terus-meneruslah yang bisa merakit bom tanpa melakukan kesalahan sedikitpun, apalagi bom yang disebar jumlahnya tidak sedikit, tiga paket bom buku dalam sehari. Sedangkan dalam kasus bom Tanah Tinggi terdapat 11 detonator artinya pelaku ingin membuat 11 bom, namun sayangnya belum selesai merakit satu bom saja si perakit malah menjadi korban alias senjata makan tuan.

Bisa juga disimpulkan bahwa perakit bom Bom buku bisa dilakukan oleh kelompok di luar Islam yang ingin melakukan tekanan politik kepada pemerintah yang memang sudah tidak menghendaki SBY melanjutkan kekuasaanya sampai 2014 dengan melakukan kampanye lewat berbagai media baik melalui televisi maupun koran nasional.

Intelijen terlibat Bom Buku

Dalam analisis lain, senada dengan analisis di atas, mengutip Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan dalam sebuah tulisan “Misteri Paket Bom Buku”di Harian Seputar Indonesia. Bom buku ini adalah bagian dari konspirasi pelemahan rezim yang sedang berkuasa. Diduga ada kelompok-kelompok yang memiliki keahlian di bidang terorisme berupaya melemahkan rezim yang sedang berkuasa demi mencapai tujuan politik mereka. Teror bom bukan hanya menciptakan instabilitas politik, ketakutan pada masyarakat, melainkan juga melemahkan kredibilitas rezim di mata rakyat dan dunia internasional.

Kemungkinan ini diperkuat juga oleh Soeripto, mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Menurutnya untuk situasi Indonesia saat ini, yang paling mungkin melakukan kekerasan dengan menggunakan bom adalah intelijen profesional. "Yang bisa melakukan itu adalah orang yang profesinya sebagai intelijen. Bisa saja agen intel yang melakukan pekerjaan itu. Orang biasa sulit," ujarnya seperti dikutip Media Indonesia, Selasa (15/3/ 2011).

Hingga sekarang paradigma kerja intelijen Indonesia masih pakai paradigma Orde Baru (Orba). Kekerasan selalu menjadi acuan untuk meredam kebebasan pihak lain atau ingin mengontrol pihak tertentu. Intelijen kita masih gunakan paradigma Orba. Intel masih bekerja represif. Padahal, intelijen kerjanya mengumpulkan data demi kepentingan negara.

Dinas-dinas intelijen di Indonesia juga tidak pernah lepas dari peranan sebagai alat pemimpin negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Kenyataan ini sangat terlihat karena dinas-dinas ini hampir tidak dipengaruhi oleh reformasi 1998-1999, dan sebagian besar masih eksis hingga sekarang. (Menguak Tabir Intelijen Hitam Indonesia: 2006)

Konflik Poso dan Ambon Tidak Ada Permainan Bom

Walaupun beberapa pihak seperti Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah mengatakan kebeberapa media nasional bahwa rangkaian bom buku banyak dipakai di Poso dan Ambon. Menanggapi hal tersebut Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim Mahendradatta segera membantahnya. Menurutnya ada upaya beberapa oknum mencoba untuk mengarahkan pelaku bom buku ini kepada kelompok tertentu yang bernafaskan Islam. Kemudian ada yang menyebut sebagai jaringan lama.

“Kalau ini dikatakan ada kaitannya dengan bom Poso, Poso tidak pernah menggunakan bom. Poso lebih banyak menggunakan senjata tajam dan senjata api. Anda bisa mengecek semua tersangka dan terpidana Poso tidak ada yang punya permainan bom. Kemudian yang kedua Ambon pun sama tidak ada yang punya permainan bom” jelasnya, saat jumpa pers Rabu (23/3/2011) di kantornya, Jl. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan.

TPM sendiri adalah lembaga advokat yang konsen menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme. Dalam kasus Poso dan Ambon secara khusus juga ikut melakukan advokasi. Jadi pernyataan Ansyaad Mbai tersebut patut dipertanyakan. Lebih lanjut kalaupun ada yang mengaitkan denga Janringan Islamiyah (JI) Mahendra membantahnya, karena JI tidak pernah berbicara masalah lokal, mereka berbicara masalah internasional.

“JI Motivasi atau agendanya tidak pernah berbicara masalah lokal, mereka berbicara masalah internasional, mereka menyerang kepentingan asing khususnya Amerika dan sekutu-sekutunya yang memerangi Islam di Indonesia,” ujarnya.

Namun kita juga patut mencermati pola-pola peristiwa yang terjadi ini dengan kasus bom Tanah tinggi, apakah ini awal indikasi bahwa SBY bakal tumbang sebagaimana rezim Orde Baru? Wallahu a’lam bisawab. (Jaka Setiawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar