Sabtu, 07 Mei 2011

Bahaya Pendidikan Multikultural

Bahaya Pendidikan Multikultural
PostDateIconTuesday, 28 September 2010 14:21 | PostAuthorIconWritten by Shodiq Ramadhan | PDF Print E-mail

Lintas Berita

alt
Oleh: Erma Pawitasari, M.Ed (Alumni Boston University AS, Kandidat Doktor di Universitas Ibnu Khaldun Bogor)

Assalamu’alaykum.
Bu Erma, sekarang ini sekolah kami mengadopsi kurikulum berbasis multikultural. Tujuannya untuk menciptakan kehidupan damai antar kelompok dan antar agama. Tetapi, saya pernah mendengar bahwa di balik kurikulum ini ada agenda yang merugikan umat Islam. Kami mohon penjelasan dari Ibu tentang pro kontra kurikulum ini.

Terima kasih,
Abdullah

Wa’alaykum salam wr wb.
Pak Abdullah serta para pembaca lainnya yang dirahmati Allah, kurikulum berbasis multikultural ini memang berasal dari Barat. Kurikulum ini pada awalnya bertujuan untuk mengatasi problematika perbedaan budaya yang terjadi di Barat.

Untuk mengingatkan kita semua, sejarah peradaban Barat sangat kental dengan diskriminasi, mulai dari diskriminasi gender, diskriminasi ras, warna kulit, hingga agama. Diskriminasi wanita, misalnya, ditandai dengan larangan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Elizabeth Blackwell (1821-1910), dokter Amerika wanita pertama, harus menghadapi cemoohan dan dikeluarkan secara paksa oleh mahasiswa sekelasnya (yang laki-laki semua), walaupun dia sudah setuju untuk duduk di bangku paling belakang. Margareth Ann Bulkley (meninggal 1865), dokter Inggris wanita pertama, harus berpura-pura menjadi sosok lelaki James Barry agar diijinkan belajar dan praktek sebagai ahli bedah.

Sejarah diskriminasi terhadap kaum kulit hitam juga berlangsung lama. Di Amerika, diskriminasi ini masih diakui secara legal hingga tahun 1964, yakni dengan disahkannya The Right Civil Act yang mengakhiri pemisahan kehidupan (segregrasi) antara kaum kulit putih dan hitam. Sebelumnya, fasilitas untuk kulit hitam dipisah lantaran mereka dianggap lebih rendah dari kaum kulit putih. Pemisahan ini terjadi mulai dari sekolah, restoran, taman, maupun penggunaan kursi bis. Fasilitas yang disediakan untuk kaum kulit hitam lebih jelek dan tidak layak. Misalnya: dari 32 kursi bis, kaum kulit hitam hanya diijinkan duduk di 5 kursi paling belakang. Jika penumpang berkulit hitam melebihi kapasitas, mereka hanya boleh berdiri di sekitar 5 kursi tersebut dan tidak boleh melewati garis batas yang memisahkan area ini dengan area kaum kulit putih. Boleh jadi kaum kulit hitam berdesak-desakan seperti kue lepet, sementara 3/4 bagian bis yang menjadi area kaum kulit putih kosong melompong.

Diskriminasi agama masih sangat menghantui Barat hingga saat ini. Contoh yang sedang hangat adalah penolakan pembangunan masjid dua blok dari Ground Zero (bekas the Twin Tower berdiri sebelum dihancurkan oleh konspirasi antara pemilik gedung dan pemerintah AS, dengan cara menyalahkan sekelompok muslim--konspirasi ini sudah banyak diangkat oleh para ilmuwan AS sendiri, terutama para insinyur sipilnya yang meragukan kemampuan terbakarnya pesawat untuk menghancurkan infrastruktur gedung).

Berbekal kondisi Barat yang rawan terhadap isu perbedaan kultur ini, maka para ahli pendidikan mencetuskan ide pendidikan multikultural. Namun, lantaran ide ini berasal dari pemikiran manusia, maka tidak ada petunjuk maupun batasan yang bisa disepakati. Walhasil, pendidikan multikultural melebar hingga memasuki ranah-ranah yang melanggar Islam.

Salah satu tema pendidikan multikultural yang berbahaya adalah penerimaan terhadap kebiasaan menyimpang homoseksual. Penyimpangan ini disebut sebagai perbedaan, sehingga posisinya disamakan dengan perbedaan budaya lainnya. Kehidupan homoseksual yang sesungguhnya membahayakan masyarakat sekitar, misalnya karena memperlebar penyebaran penyakit seperti AIDS, disembunyikan di balik sisi kemanusiaan, bahwa mereka adalah manusia “normal” yang bekerja keras untuk hidup, memiliki prestasi, memiliki kesedihan, dan ingin mendapatkan kebahagiaan sebagaimana manusia lainnya. Di Amerika sendiri, masuknya tema-tema homoseksual ke dalam buku-buku pelajaran sekolah masih menuai protes keras.

Tema lain yang tak kalah berbahaya adalah penempatan agama sebagai salah satu aspek kultur. Konsekuensinya, Islam tidak boleh diajarkan sebagai satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imron 85:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Lebih jauh lagi, keyakinan untuk beragama disejajarkan dengan keyakinan untuk tidak beragama (atheisme) dan tata pelaksanaan agama disejajarkan dengan upacara adat. Artinya, menjadi atheis dianggap sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati. Demikian pula upacara adat, walaupun mengandung kesyirikan, perlu dilestarikan.

Yang Diperlukan Adalah Kurikulum Pendidikan Islam

Sesungguhnya problematika diskriminasi telah diselesaikan oleh Islam sejak awal (abad ke-6), jauh sebelum Barat menyadarinya. Tidak ada keutamaan kaum kulit putih di atas kulit hitam, kaum lelaki di atas kaum wanita, maupun kaum berpunya di atas kaum miskin, kecuali mengikuti derajat ketaqwaannya. Salah satu firman Allah berkenaan dengan hal ini adalah QS. Al Hujurat 13:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.

Kurikulum Islam hanya mengikuti perintah Allah, dengan batasan-batasan yang sudah dijelaskan oleh Allah dan rasulNya. Dalam sejarah Islam, tercatat ketinggian nilai sahabat Bilal ra, seorang mantan budak hitam, sebagaimana juga menempatkan para sahabat wanita termasuk istri-istri Nabi sebagai ulama wanita yang didengar pendapat dan periwayatannya. Namun, Islam dengan tegas melarang aktivitas yang menjerumus kepada homoseksualitas dan dengan gigih pula senantiasa menyampaikan kebenaran Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari kerusakan dunia dan akhirat. Islam tidak akan pernah sampai kepada kita seandainya Islam mengadopsi kurikulum multikultural yang memupus semangat dakwah dan penyebaran agama.

Oleh karena itu, yang selayaknya diperjuangkan menjadi kurikulum nasional adalah kurikulum Islam, bukan kurikulum multikultural. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar