Sabtu, 24 Desember 2011

Riya dan Sum'ah

Riya dan Sum'ah

Jumat, 09/12/2011 14:15 WIB | Arsip | Cetak

Kata riya berasal dari kata ru'yah. Kalimat arar-rajulu digunakan jika seseorang menampakkan amal shalih agar dilihat oleh manusia. Makna tersebut sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:

الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴿٦﴾ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿٧﴾

"...Orang-orang yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang berguna." (QS. al-Ma'uun [107] : 6-7)

بَطَرًا وَرِئَاء النَّاسِ وَيَصُدُّونَ

"...Dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia..." (QS. al-Anfal [8] : 47)

Sedangkan kata sum'ah berasal dari kata samma'a. Kalimat samma'a an naasa bi amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya. (Kitab lisanul arab, 8/165)

Pengertian riya atau sum'ah dalam istilah para juru dakwah dan para ulama akhlak adalah sikap seorang Muslim yang menampakkan amal shalihnya kepada manusia lain agar dirinya mendapat kedudukan dan penghargaan dari mereka, atau mengharap harta benda mereka. Jika amal shalih itu dikerjakan dihadapan manusia dan dilihat secara langsung oleh mereka, maka hal itu dinamakan riya. Akan tetapi, jika amalannya dikerjakan secara tersembunyi dari pengetahuan manusia, kemudian hal itu dibicarakan kepada orang lain, maka hal demikian dinamakan sum'ah. (Fathul-Baari, 11/336)

'Izzuddin bin Abdussalam membedakan antara riya dan sum'ah. Riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah, sedangkan sum'ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. (Fathul Baari, jilid XI, hal 336).

Dalam hal ini, menurutnya semua riya itu adalah tercela. Akan tetapi, sum'ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya dihadapan manusia. Ungkapan ini sesuai dengan yang dimaksud dalam nash-nash syariat di bawah ini.

Firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ

"Hai orang-orang yang beirman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia..." (QS. al-Baqarah [2] : 264)

Sabda Rasulullah shallahu alaihi wassalam:

"Barangsiapa yang berlaku sum'ah, maka akan diperlakukan dengan sum'ah oleh Allah (diumumkan aib-aibnya di akhirat), dan barangsiapa yang berlaku riya, maka akan dibalas oleh Allah dengan riya (diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya)". (HR. Bukhari)

"Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil". Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil ituk, wahai Rasulullah?" Rasul menjawab, "Riya. Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjara amalan perbuatan hamba-Nya, 'Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya nya terhadapnya. Lihat! Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?" Kemudian Rasulullah shallahu alaihi wassalam mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah". Orang tersebut ternyata al-Miqdaad ibnul Aswad". (HR. Ahmad)

Faktor-Faktor Penyebab Riya dan Sum'ah.

Pertama. Latar Belakang Kehidupan.

Jika seorang anak yang tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga yang memiliki suasana atau adat perilaku riya atau sum'ah, maka sangat besar kemungkinan dirinya akan dapat terpengaruhi perilaku semacam itu. Jika penyakit itu telah bercokol dan lama berurat barakar dan mengkristal dalam jiwa, maka akan sangat sulit untuk mengikisnya. Karena itu, Rasulullah selalu menekankan pentingnya faktor agama sebagai landasan utama dalam memilih calon pasangan hidup kita.

Sabda Rasulullah shallahu alaihi wassalam:

"...Maka pilihlah wanita yang taat menjalani agama, niscaya engkau akan beruntung." (HR. Tirmidzi)

"Jika kalian didatangi oleh seseorang (untuk meminang putrimu) yang engkau ridhai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu)." (HR. Tirmidzi)

Kedua. Persahabatan yang Buruk.

Persahabatan yang buruk hanya akan mengakibatkan sikap riya dan sum'ah, terutama bagi orang yang lemah pribadi dan mentalnya dan mudah terpengaruhi orang lain, dengan mengikuti dan meniru teman-temannya, dan lama kelamaan berumbi-berakar dalam jiwanya. Sehubungan dengan hal ini, sebagai Muslim, kita seperti yang telah kami kemukakan sebelum ini dituntut agar selektif dalam menjalin persahabatan dengan mereka yang baik, menghormati, dan menjalankan syariah Allah.

Ketiga. Tidak Memiliki Hakikat Ma'rifah kepada Allah.

Tidak mengenal Allah dengan hakiki dapat menimbulkan sikap riya dan sum'ah, sebab orang yang jahil dan kurang mengenal Allah tidak akan mampu bersikap yang benar terhadap Allah. Karena itu, berkembanglah dalam pikirannya bahwa ada sebagian manusia yang mampu menolak bahaya dan memberi manfaat. Ia bersikap riya dan sum'ah dalam setiap amalnya dihadapan sekelompok manusia dan yang menurutnya berkuasa dalam menentukan nasib mereka. Tujuannya tidak lain agar ia memperoleh sesuatu yang mereka miliki.

Islam selalu menegaskan pentingnya mengenal Allah sebagai langkah pertama yang harus ditempuh sebelum melakukan segala sesuatu.

Firman-Nya:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

"Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah." (QS. Muhammad [47] : 19)

Keempat. Ambisi Memperoleh Kedudukan dan Kemimpinan.

Ambisi memperoleh kedudukan dan kepemimpinan dapat memotivasi sikap riya dan sum'ah. Dalam hal ini Islam menekankan untuk menyeleksi dan menguji seseorang sebelum ia dilimpahi suatu kepercayaan atau dukungan.

Firman Allah:

وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya." (QS. an-Nisaa' [4] : 6)

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang hijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka." (QS. al-Mumtahanah [60] : 10)

Kelima. Tamak Terhadap yang Dimiliki Orang Lain.

Sikap rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain serta ambisi terhadap harta duniawi dapat menyebabkan riya atau sum'ah. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa bahwa pada suatu hari Rasulullah saw ditanya, "Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat oleh manusia, yang manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?"

Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda:

"Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berperang di jalan Allah." (HR. Bukhari)

"Barangsiapa yang pergi berperang kemudian ia tak mengharapkan sesuatu kecuali memperoleh tali kendali, maka baginya apa yang ia niatkan." (HR. Nasaa'i dan Darimi)

Keenam. Suka Dipuji atau Disanjung Orang Lain.

Peringai suka atau senang pujian akan mendorong seseorang berlaku riya atau sum'ah. Ini karena orang yang mempunyai kecenderungan berperingai semacam itu, umumnya berupaya agar dia menjadi buah bibir orang-orang dan disebut-sebut dalam forum-forum mereka. Jika keinginannya terlaksana, maka dia menjadi angkuh dan congkak.

Ketujuh. Terlalu Ketat Dalam Memberikan Penilaian.

Sikap seorang pemimpin yang terlalu ketat dalam menilai seseorang akan menyebabkan lahirnya sikap riya dan sum'ah, khususnya kepada mereka yang tidak memiliki jiwa besar dan tidak kuat tekadnya. Benarlah Rasulullah shallahu alaihi wassalam yang tidak pernah berucap kecuali karena wahyu yang sampai kepadanya, ketika beliau bersabda kepada Aisyah ra:

"Barangsiapa yang baik itu tidak mengerjakan sesutu kecuali ia menilainya baik, dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali jika ia menilainya buruk." (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Kedelapan. Terlalu Dikagumi Orang Lain.

Rasa kagum yang berlebihan terhadap amalan seseorang dapat memotivasi timbulnya riya dan sum'ah pada diri orang yang dikagumi itu. Orang yang dikagumi akan semakin berusaha agar kekaguman orang-orang semakin bertambah padanya. Sehubungan dengan hal itu ajaran Islam telah menyediakan benteng pemelihara bagi umatnya dari penyakit ini, sebab agama Islam melarang sikap menampakkan rasa kagum secara terang-terangan dihadapan orang yang dikagumi. Kalaupun dipikir perlu dilakukan, hendaklah disertai oleh sikap waspada dan hati-hati, yaitu dengan mengucapkan :

"Aku menilai fulan itu demikian. Dan sesungguhnya Allah yang berhak menilainya, dan sayogiyanya seseorang tidak mendahului penilaian Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesembilan. Lalai Terhadap Dampak Buruk Riya dan Sum'ah.

Terakhir, ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh riya dan sum'ah dapat menjerumuskan seseorang kepada riya atau sum'ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar