Senin, 14 Juni 2010

Waspadai perangkap Israel pasca kasus Freedom Flotilla

KASUS serbuan armada kemanusiaan untuk warga Gaza, Freedom Flotilla (FF) akan dicatat sebagai salah satu upaya kemanusiaan bersama manca negara tanpa memandang agama, ras dan aliran dalam memerjuangkan kemanusiaan di salah satu dudut belahan dunia yang mengalami pelecehan kemanusiaan tiada tara dalam sejarah umat Manusia.

Kasus serbuan oleh Komando khusus pasukan Zionis pada 31 Mei lalu di perairan internasional itu atas kapal sipil Mavi Marmara yang menewaskan sedikitnya 9 orang aktivis kemanusiaan yang sebagian besar adalah warga Turki, juga sekaligus mengetengahkan bukti baru atas arogansi dan kebrutalan negeri Zionis yang selama ini selalu luput dari hukum internasional.

Kebuasan Zionis nampak dari aksi brutal yang sama sekali menyamakan antara menyerbu kapal perang dengan kapal penumpang biasa yang membawa warga sipil termasuk di dalamnya adalah kalangan petinggi/pemuka manca negara seperti anggota parlemen.

Mungkin para pemimpin Zionis beranggapan bahwa aksi brutal tersebut sama dengan aksi-aksi brutal dan holocaust sebelumnya atas warga Arab, dimana negeri Yahudi itu selalu bisa lolos dari jeratan hukum internasional karena memang pemerintah dunia Arab "tidak kuasa" menghadapi tekanan AS. Namun kali ini, masyarakat dunia nampaknya tidak akan tinggal diam.

Bagi warga Palestina dan umat Islam umumnya, menaruh harapan besar kepada Turki untuk tidak membiarkan darah aktivis kemanusiaan dalam armada FF sia-sia tanpa berhasil menyeret otak intelektual dan pelaku serangan di perairan internasional yang jelas-jelas melanggar hukum internasional. Atau minimal pengaruh dari gugurnya para syuhada kemanusiaan dan gaung hujatan masyarakat dunia adalah berakhirnya embargo zalim sepihak Zionis atas sekitar 1,8 juta warga Gaza yang hidup dalam penjara terbesar di dunia sepanjang sejarah.

Memang banyak publik dunia bahkan publik Arab sendiri sangat kecewa dengan respon “dingin” dunia Arab di tingkat resmi. Bahkan sidang darurat Liga Arab di tingkat Menlu setelah peristiwa tersebut tidak menunjukkan “nyali” seperti yang diperlihatkan Turki kepada negeri Zionis karena meskipun para menlu Liga Arab sepakat tentang perlunya mengakhiri embargo atas Gaza namun keputusan itu terkesan tidak jelas sebab tidak adanya mekanisme pencabutan embrago dimaksud.

Namun sikap "dingin" tersebut bagi umat Islam seharusnya tidak perlu disedihkan apalagi merasa kecewa berat sehingga menimbulkan keputusasaan. Justeru kenyataan ini membuktikan bahwa isu Palestina adalah isu umat Islam bahkan umat manusia secara keseluruhan bila melihat para pejuang kemanusiaan manca negara dalam armada tersebut lalu hujatan masyarakat dunia yang demikian meluas terutama di Eropa yang pernah terlibat langsung mendirikan negeri Zionis yang menjadi penyakit kanker yang bukan hanya di dunia Arab tapi bagi umat manusia sedunia.

Sedianya skenario Zionis Israel yang terkesan memaksakan menyerbu salah satu kapal armada FF itu, adalah ingin membuat masyarakat dunia jera sehingga tidak akan ada lagi usaha untuk menembus blokade ke Gaza setelah serbuan brutal itu. Itulah gambaran yang ada dalam benak para pemimpin Zionis sehingga berani menyerang kapal sipil yang berada di perairan internasional.

Para aktivitis sejak persiapan hingga berlayar menuju Gaza memang sudah menduga bahkan memastikan bahwa Angkatan Laut (AL) Israel pasti akan menghalanginya menuju ke Gaza begitu masuk dalam teritorial negeri Yahudi itu. Namun yang tidak terdetik dalam benak mereka adalah serbuan brutal yang menewaskan banyak aktivis tersebut.

Seperti biasa, banyak alasan yang dikemukakan para pemimpin Zionis diantara mempertahankan diri, karena aktivis bersenjata dan berusaha menyerang pasukan komando Israel atau sebagian aktivis adalah teroris. Tapi Menlu Turki, Ahmet Davutoglo secara telak membeberkan kedustaan tersebut di hadapan DK PBB (1/6) dengan mengatakan "kita telah bosan dengan dalih kedustaan Israel setiap melakukan kejahatan tertentu" sambil menyebut serbuan tersebut aksi bandit dan bajak laut.

Alhasil skenario Zionis tersebut yang sedianya bertujuan membuat jera para aktivis kemanusian manca negara dapat dikatakan gagal total. Bahkan beberapa hari setelahnya muncul penantang baru lewat kapal Rachel Corrie yang berlabuh dari Irlandia. Nama kapal tersebut diberikan dari nama aktivis wanita AS yang tewas dilindas bolduser Israel pada 23 Maret 2003 saat mempertahankan rumah warga Palestina yang akan dihancurkan oleh bolduser tersebut di kota Rafah, Palestina.

Memang armada kemanusiaan telah mengorbankan sedikitnya 9 aktivis yang sebagian besar dari Turki dan puluhan lainnya luka-luka. Tapi dibalik itu, Palestina berhasil meraih simpati bahkan bukan sebatas simpati dari 70 juta lebih rakyat Turki sebagai garda terdepan membela isu Palestina yang menjadi isu sentral dunia Islam tersebut setelah sekian lama negeri bekas pusat Kekhalifahan Otoman itu melihat sebelah mata Palestina akibat persekutuannya dengan Zionis Israel

Paling tidak pernyataan PM Turki, Recep Tayyip Erdogan setelah peristiwa berdarah itu mewakili aspirasi rakyat Turki. "Israel harus memahami bahwa memang hubungan kita kuat namun permusuhan kita juga kuat. Bila seluruh masyarakat dunia membelakangi (tidak peduli) Gaza maka kami bangsa Turki tidak akan membelakanginya."

Maka tidak aneh bila seorang analis Arab menyebut pembantaian di atas kapal dan sebelumnya di Gaza itu sebagai "pelayanan istimewa" dari PM Benjamin Natenyahu dan pejabat tinggi garis keras Zionis lainnya bagi isu Palestina. "Bayangkan dunia Arab dan Islam dalam puluhan tahun bakal menghabiskan ratusan milyar dolar dalam usaha untuk sekedar mengungkap skandal dan wajah drakula para pemimpin Israel. Namun lewat pembantaian tersebut masyarakat dunia sudah tidak bisa lagi mentolerir bila negeri Zionis tersebut selalu berada di atas hukum", ujar analis Arab di London, Abdul Bari Athwan.

Tetap waspada

Jelaslah sekarang bahwa kasus serbuan tersebut telah mengubah semacam kesetaraan. Yang tadinya Gaza diblokade dari segala arah sekarang sepertinya Gaza yang memblokade (secara politis) Israel dari segala arah dimana Eropa secara resmi sudah mulai bergerak untuk paling sedikit meringankan blokade itu meskipun tuntutan publik Eropa adalah mencabut embargo tanpa syarat dan sesegera mungkin.

Di lain pihak, Turki tidak akan mundur dari tuntutannya bahkan Ankara mengisyaratkan persetujuan AS atas langkah-langkah Turki untuk memberikan "pelajaran" atas kesalahan fatal anak emasnya negeri super power tersebut. Di lain pihak, Ankara juga lebih intensif mengupayakan rujuk antara Hamas di Gaza dan otoritas Palestina (Fatah) di Ramallah (Tepi Barat) untuk memperkuat posisi Turki dalam mengupayakan pencabutan embargo di Gaza.

Bahkan ada isyarat Turki lebih mampu membantu mencapai rekonsiliasi Hamas-Fatah ketimbang Arab yang telah beberapa kali gagal. Pasalnya Turki mampu menentukan keputusan sendiri tanpa ada tekanan pihak luar, sementara ini kegagalan demi kegagalan rekonsiliasi diakibatkan adanya tekanan dari AS dan Israel atas dunia Arab agar menekan Hamas sehingga rekonsiliasi yang telah ditandatangani beberapa kali hanya sebatas hitam di atas putih.

Untuk menghadapi kemungkinan di atas tentunya Tel Aviv dengan bantuan AS tidak akan tinggal diam dan akan berusaha untuk menggunakan legitimasi internasional guna mengesahkan blokade yang dilakukannya atas Gaza sejak sekitar empat tahun lalu. Salah satu yang akan dijadikan sarana legitimasi adalah Dewan Keamanan (DK) PBB.

Untuk sekedar diingat saja bahwa embargo atas warga Palestina di Gaza bukanlah embargo internasional yang didasari keputusan DK PBB atau Majelis Umum (MU) PBB namun keputusan sepihak Israel yang mulanya didukung oleh Barat lalu seluruh dunia sebagai konsekwensi prestasi demokrasi yang berlangsung di Palestina dengan kemenangan telak Hamas dalam pemilu pada Januari 2006. Dengan demikian, embargo ini selain tidak manusiawi, juga tidak sah secara hukum internasional.

Buktinya Komisi Tinggi HAM PBB menyatakan tidak bertangungjawab atas embargo dan akibat-akibat yang ditimbulkannya karena memang tidak sah secara hukum internansional. Embargo adalah bentuk kejahatan lain Zionis sebagai balas dendam atas kebrhasilan pejuang di Gaza memaksa pasukan Israel keluar dari daerah itu ditambah lagi sukses Hamas dalam pemilu yang dianggap paling demokrasi yang pernah berlangsung di dunia Arab.

Karenanya tidak tepat bila sekarang dunia Arab atau dunia Islam pada umumnya ikut-ikutan kasak-kusuk mendukung resolusi PBB yang membatalkan embargo tersebut atau upaya meringankan embargo lewat keputusan badan dunia ini. Bila hal ini terjadi maka akan memberikan legitimasi bagi Zionis bahwa embargo yang diberlakukannya selama ini akan menjadi embargo yang sah.

Tentunya inilah salah satu perangkap negeri Yahudi itu. Sebab bila akhirnya pembatalan/peringanan embargo lewat badan dunia maka tidak ada yang menjamin dalam waktu yang tidak lama akan melakukan embargo lagi yang akhirnya embargo yang tadinya sepihak dan tidak sah menjadi embargo yang berkekuatan hukum internasional. Tidak ada jalan lain kecuali harus segera mencabut embargo tanpa syarat dan selama-lamanya agar tidak dijadikan perangkap oleh Zionis untuk menancapkan kuku penyiksaan atas warga Palestina di Gaza.

Para pemimpin Zionis, setelah serbuan armada FF itu, memang mulai menyuarakan peringanan embargo lewat keputusan PBB karena ingin membuat muslihat baru agar embargo yang tadinya tidak sah menjadi sah nantinya sehingga tidak ada lagi alasan bagi armada-armada kemanusiaan untuk mencoba menembus embargo yang telah disahkan secara internasional.

Sungguh bila perangkap ini berhasil, derita panjang warga Gaza tidak ada yang menjamin kapan akan berakhir. Inilah kartu ``as`` Zionis untuk melaksanakan siasat liciknya dengan dalih menjaga keamanannya sehingga Gaza berhak diblokade tanpa batas selama masih ada pejuang-pejuang bersenjata di daerah sempit itu.

Karenanya sangat beralasan bila Hamas segera merespon rencana Uni Eropa untuk meringankan embargo dan siap menerima Uni Eropa plus Mesir sebagai pengawas atas keluar masuknya kapal atau kendaran ke Gaza yang membawa bantuan atau bahan-bahan kebutuhan pokok dan bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan.

Paling tidak itulah langkah maksimal yang bisa dilakukan otoritas di Gaza yang sejatinya harus didukung oleh dunia Arab dan Islam agar terhindar dari perangkap Zionis yang tidak akan pernah tinggal diam menghadapi hujatan masyarakat internasional akibat aksi brutal atas armada kemanusiaan tersebut.

Dukung Turki

Salah satu tuntutan lainnya yang kelihatannya gampang tapi sulit atau "gampang-gampang sulit" adalah kesediaan dunia Arab terutama Liga Arab untuk mendukung kuat Turki menghadapi Israel. Arab seyogyanya tidak perlu merasa tersaingi dalam mengatasi isu Palestina, sehubungan dengan makin mencuatnya peran negeri Otoman itu dikawasan saat ini termasuk dalam membantu mengatasi masalah nuklir Iran.

Diantara sikap Turki yang sulit ditawar lagi yang sangat perlu didukung Arab adalah pencabutan embargo atas Gaza. Ankara berani bersikap demikian karena embargo ini selain tidak sah juga tidak ada kaitannya dengan persetujuan damai sejumlah negara Arab dengan Israel.

Turki yang kelihatannya telah mendapat restu implisit dari Eropa atas pencabutan embargo tersebut atau paling tidak meringankannya perlu didukung kuat diantaranya dengan pegumuman kesediaan dunia Arab untuk segera memulihkan lagi hubungan dengan Gaza. Lawatan Sekjen Liga Arab, Amr Moussa yang diagendakan 13 Juni ini merupakan langkah awal positif.

Sikap Turki lainnya yang perlu didukung kuat adalah pembentukan tim penyelidik internasional atas kasus penyerangan armada kemanusiaan tersebut. Dukungan ini secara politis akan memperkuat posisi Turki dalam menghadapi Israel yang sampai saat ini menolaknya dan hanya bersedia membentuk tim pencari fakta dari Israel sendiri.

Kartu lainnya yang bisa "dimainkan" Arab misalnya pencabutan inisitaif damai yang selama ini tidak pernah ditanggapi negeri Zionis itu. Sikap Kuwait pasca serbuan armada FF itu perlu diapresiasi yang menyatakan keluar dari inisiatif damai Arab.

Kartu lainnya adalah penolakan dimulainya perundingan damai baik langsung maupun tidak langsung dengan Tel Aviv sebelum pencabutan embargo atas Gaza. Sebenarnya, bila ada "political will" banyak kartu yang bisa dimainkan Arab menghadapi kejahatan demi kejahatan yang dilakukan negeri Zionis itu terhadap warga Palestina tak berdaya termasuk yahudisasi kota suci Al-Quds yang terus digencar dilakukan saat ini.